[Year 1] Chapter 1. Berteman dengan Anak Laki-Laki yang Bertahan Hidup

6.8K 922 285
                                    

"Draco," ibunya berkata dengan lembut, membuatnya mengalihkan pandangan dari Kembang Api Filibuster yang dipajang di toko Lelucon Gambol Jabes. "Ada apa, sayang? Hari ini kok diam saja. Tumben kamu tidak ribut merengek beli sapu terbang?"

"Biarkan saja, Narcissa," komentar Ayahnya, sambil tersenyum simpul. "Lebih tenang seperti ini soalnya."

Ibunya memutar matanya yang berwarna biru setelah mendengar perkataan suaminya, namun tetap tersenyum pada Draco, menunggu jawabannya.

"Aku baik-baik saja, Mother," jawab Draco buru-buru. "Cuma berpikir saja."

"Wah, bahaya itu," kata Ayahnya separuh bercanda. "Setiap kamu berpikir sesuatu, kamu selalu punya ide yang aneh, nanti kamu pasti bertanya banyak hal pada Father seharian. Ya sudah, ayo sana beli jubah sekolahmu, kita tidak punya banyak waktu! Father mau ke Flourish and Blotts dulu, mau cek buku terbaru. Nanti kalau kamu sudah selesai akan kami jemput."

Setelah berkata begitu, Ayahnya langsung bergegas berbalik dan berjalan ke arah toko buku di ujung jalan. Draco lalu memandang Ibunya, menemukan bahwa beliau masih menatapnya penuh tanya.

"Sekarang kan Ayahmu sudah pergi," katanya dengan senyum penuh arti. "Jadi apa yang sedang ada di pikiranmu, sayang?"

Draco menelan ludahnya, sambil membetulkan posisinya berdiri. Firasatnya menyuruhnya untuk memberitahu orang tuanya tentang surat yang ia terima kemarin malam, namun kata-kata dari seseorang yang mengaku sebagai dirinya di masa depan membuatnya ragu. Jika penulis surat itu benar, maka Draco tidak bisa percaya dengan apa yang dikatakan oleh Ayahnya, tapi bagaimana cara Draco tahu bahwa penulis surat itu bisa dipercaya kalau dia tidak meminta pendapat kedua orang tuanya?

"Kalau misal Mother dapat surat dari seseorang yang mengaku sebagai diri sendiri di masa depan," ujar Draco tiba-tiba, dengan mata terpancang lurus ke mata ibunya. "Apa Mother akan percaya?"

Ibunya mengangkat kedua alisnya, terlihat geli.

"Apa kemarin malam kamu baca novel lagi, Draco?" Tanyanya.

"Begitulah," Draco mengedikkan bahunya, merasa bahwa alasan itu cukup masuk akal. "Tapi aku cuma bingung, kira-kira bisa terjadi beneran kah? Bagaimana aku tahu kalau suratnya bukan lelucon? Siapapun bisa menulis surat itu kan?"

Ibunya menggumam, sambil berpikir.

"Memang sih," katanya kemudian, sambil mengernyitkan dahinya. "Tapi juga tergantung isi suratnya, dan jika memang ada kejadian dalam suratnya yang terjadi di dunia nyata."

"Di bukunya, ada memori yang ditambahkan ke suratnya," gumam Draco, dengan jantung yang bertalu-talu. "Memori dari masa lalu si penulis surat, dengan kata lain, masa depan dari karakter utamanya. Kilasan memori macam itu memangnya bisa dipalsukan?"

"Tentu saja bisa dipalsukan," jawab Narcissa. "Tapi butuh kemampuan sihir yang hebat untuk bisa memalsukan sebuah memori. Dan, tentu saja, seseorang pasti punya motif yang kuat untuk repot-repot melakukan itu."

Draco menelan ludahnya lagi. Berarti tidak mungkin Theodore Nott yang melakukannya. Tapi memangnya, siapa lagi yang ingin agar Draco melawan orang tuanya dan malah berteman dengan Harry Potter? Penyihir dewasa yang Draco tahu adalah kenalan orang tuanya, dan mereka semua memiliki prinsip yang sama dengan Ayah. Mereka tidak akan diuntungkan jika Draco melawan orang tuanya.

"Ayo, kamu harus mengukur tubuhmu untuk Jubah Sekolah barumu, sayang," ujar Ibunya lagi, menyadarkan Draco dari pikirannya. "Pastikan kamu beli Jubah yang lain juga. Beberapa jubahmu sudah kekecilan. Bisa pergi sendiri kah? Soalnya Mother mau sekalian ke Ollivander dulu."

Do It All Over Again (INA Trans)Onde histórias criam vida. Descubra agora