Epilog

4.4K 199 29
                                    

Seorang laki-laki sedang tersenyum sembari menatap bingkai berukuran besar di depannya.

"Gak kerasa, ya. Udah dua tahun aja kamu ninggalin Abang." Helaan nafas terdengar seiring mata yang mulai berkaca-kaca.

"Kamu tau gak, La? Semenjak perginya kamu dari hidup kita, semuanya gak seperti dulu lagi. Bahkan, sekarang semakin kacau."

Tyllo tersenyum sendu. "Setiap malam, Abang selalu ngerasain sakit, La. Kamu tau itu kenapa? Karena, Abang selalu keinget sama kamu. Abang selalu berharap, kamu bakalan pulang ke rumah."

"Tapi nyatanya, itu gak pernah terjadi dan gak akan pernah terjadi." Jatuh air mata yang sedari tadi ia tahan. "Maaf, ya? Abang nangis di depan foto kamu."

Tyllo terkekeh sumbang. "Abang cengeng banget, kan? Masa udah tua tapi masih suka nangis." Ia kemudian menyeka air matanya. "Oh, ya. Abang udah lulus sarjana, loh. Dan sekarang Abang udah jadi bagian dari abdi negara."

"Kamu pasti bangga, kan, sama Abang? Coba deh, kamu ada di sini sekarang sama Abang. Jadi Abang gak perlu datang ke acara penyambutan itu sendirian."

Kemudian, Tyllo menunduk. "Semenjak kamu pergi, Ayah sama Ibu udah gak peduli lagi sama Abang, La. Ibu selalu nangis sambil sebut-sebut nama kamu setiap malamnya. Ayah juga jadi sering ngelamun. Malahan, waktu itu perusahaannya hampir gulung tikar karena Ayah gak pokus sama pekerjaannya."

"Benar kata orang, kita akan merasakan kehadiran seseorang itu sangat berharga ketika orang itu pergi."

Tyllo terkekeh pelan. "Udah, ah! Abang harus berangkat sekarang dulu untuk menghadiri acara penyambutan TNI angkatan darat."

"Abang pamit ya, La. Baik-baik di sana. Abang sayang sama kamu."

***

"Sayang, mau sampai kapan kamu kayak gini terus? Bunda khawatir kondisi kamu akan semakin memburuk."

Ervin tetap diam tak merespon. Semenjak hari dimana adalah hari penyesalan terbesarnya. Ia selalu merasakan kekosongan. Seperti, memang yang seharusnya ada untuk melengkapinya, telah hilang dan tak akan pernah ada yang mampu menggantikannya.

Stela adalah salah satu penyesalan terbesarnya. Kepergiannya yang sangat mendadak kala itu, masih terus membekas di ingatannya. Bahkan, sekarang ia jadi semakin irit berbicara melebihi ketika ditinggal oleh Liana dulu.

Nia merasa kasihan pada putranya. Sebagai seorang Ibu, tentu saja ia khawatir melihat kondisi Ervin yang selalu mengurung diri di dalam kamar setiap malamnya, dan terus menggumam kata 'maaf' yang di dalamnya tersirat akan rasa penyesalan yang begitu besar.

Nia kemudian menghela. Mengelus surai lembab putranya secara perlahan.

"Bunda tau. Sangat tau. Kamu merasa berdosa sekaligus bersalah bukan terhadap almarhumah Stela? Tapi nak, yang harus kamu tau, Stela itu gadis yang sangat baik hati. Dia pasti sudah memaafkan kesalahan kamu padanya di hari itu."

"Stela memiliki aura positif dalam dirinya, dan Bunda yakin bahwasannya Stela tidak akan suka melihat kamu yang terus bersedih hingga berlarut-larut."

Nia tersenyum teduh begitu pandangannya beradu dengan putranya. "Bunda mohon, berhenti bersikap seolah-olah semuanya itu salah kamu."

Tatapan itu, tatapan sarat akan permohonan yang disertai keputus asaan, membuat hati Ervin perlahan luluh.

Beberapa detik selanjutnya, anak laki-laki itu menggeleng, membuang pandangan ke arah berlawanan. "E-ervin ... gak bisa Bunda."

Lirih sekali. Suara Ervin nyaris tidak terdengar andai saja suana kala itu tidak sunyi. Nia lantas tersenyum maklum, ah—lebih tepatnya tersenyum lelah.

Story StelaWhere stories live. Discover now