BAB 62: Ibu

107 19 1
                                    

Benar-benar muak. Rasanya muak ingin mengujam dinding hanya saja pikir dua kali tak ada untungnya yang hanya meninggalkan sakit saja. Jalannya pelan di trotoar jalan. Mulai bosan. Dia berdecak menatap sekitar jalan yang agak ramai mobil lalu-lalang.

Dia duduk di halte bus menunggunya lalu tak lama bus itu datang. Dia masuk dan duduk di kursi sisi agar bisa menikmati pemandangan. 

Selepasnya dia turun dengan meninggalkan kegeraman dia.

Kenapa bayangan Eri muncul terus! Bintang mengerang geram melampiaskan dengan menendang kerikil yang tak punya salah. Dia jalan emosi dan menggigit bibir bawahnya beberapa kali menjambak rambutnya kesal.

"Eri kampret! Enyah lo!" kesal Bintang menendang kerikil lumayan besar hingga terlempar ke udara mengujam kepala pak petani yang sedang mencangkul tepian jalan setapak.

"Sialan!" pekik pak petani di sisinya seraya mengusap belakang kepalanya.

Bintang membelalak. Dia lari sekencang-kencangnya melarikan diri tak hirau pak petani melempar lumpur sawah sekuat tenaga namun tak kena.

Bruk!

Pintu ditutup paksa berbarengan tarikan napas boros dari Bintang yang menempel punggung pada pintu yang dia buru-buru dikunci kuat-kuat ruang tamunya. Wajah pucat pasi lalu tubuhnya memerosot hingga terduduk mengatur napasnya yang tak tenang.

Tirai disingkap sedikit diintip dari jendela kaca menilik halaman kiranya orang itu mengejarnya dan menunggu permintaan maaf darinya. Bintang menelan air liurnya seraya geser bola matanya menelisik keadaan.

Aman. Dia tak mengintip lagi. Hingga baru senyum mengembang karena lega, pintunya ada yang mengetuk dua kali bikin Bintang terkesiap buru-buru tanpa menoleh lari menuju kamar hingga tak sengaja tersandung gagang teflon di keramik. Dia meringis namun ditahan buru-buru mengunci pintu kamarnya dengan dadanya yang berdebar.

Bintang menenggelamkan diri di selimuti sembari berusaha menelpon Gilang untuk meminta pertolongan.

"Bin, buka!"

Tunggu dulu! Suaranya perempuan Bintang membuka selimutnya menaut alis segeranya bangun menuju ruang tamu. Dia beranikan diri membuka pintunya dengan senang hati menampakan Ibunya yang baru tiba.

Bintang senyum kangen segeranya ditarik lengan ibunya ke dalam, dipeluknya erat-erat. Lina yang tersentak menggeliat keheranan.

"Kamu kenapa?" tanya Lina kali ini acara pelukan dadakan itu hilang. Keduanya di sofa menikmati kolak pisang.

Bintang rakus menikmati kolak pisangnya sembari menonton tayangan televisi. Ibunya sela menikmati beliau menelpon seseorang sesekali tawa kecil.

Bintang meliriknya curiga.

"Enggak, kok. Ibu kenapa?"

"Lah, nanya balik kamu? Ibu Enggak apa-apa. Kamu kenapa langsung dekap Ibu?"

Bintang menyeruput kuah kolaknya dari rantang hingga habis. Ibunya geleng-geleng kepala.

"Lapar." keluh Bintang berekspresi lemah.

"Makan. Jangan ngomong." ucap ibunya.

Bintang berdiri mengganjur langkah menuju dapur dengan jalan agak berjingkat.

"Kakimu kenapa?" tanya Lina teralihkan.

"Gara-gara teflon!" pekik Bintang di dapur mulai menuang nasinya ke piring berikut toppingnya. Lalu kembali ke ruang tamu, duduk di sofa agak mengangkang.

"Gara-gara teflon gimana?" Lina tak paham.

"Teflon Ibu ditaruh sembarangan jadinya kesandung. Sakit, Bu. Keknya harus dipijat kaki Bintang!" keluhnya seraya makan pakai tangan.

Under Sunset In Skyline [BL]Where stories live. Discover now