BAB 08: Pelik

381 47 1
                                    

Dering alarm gawai mengumandang bergetar di nakas. Bintang menggeliat dari balik selimut tebal hijaunya lalu menampakan wajah linglung. Dia garuk kepala lalu bangun menuju luar sembari garuk pantat yang terbungkus celana ringan sepaha.

Mata memejam saat buang air di toilet, badannya menggelinjang sejenak saat kencingnya telah selesai, lekas dia nyalakan keran.

"Sayurnya masih ada, Bu?"

Bintang keluar dari toilet dengan wajah basah sedang dilap handuk wajah. Telinganya dengar obrolan dari luar lalu bersahut ibunya yang ramah. Sepertinya ibunya dapat orderan sayur lagi. Bintang intip dari balik dinding ruang tamu.

Pintu luar membuka menampakkan ibunya sedang menulis sesuatu di kertas mirip daftar kehadiran sekolah di sofa ruang tamu. Seorang pria yang belum Bintang kenal ikut duduk juga nampak sibuk menggulir layar gawai.

Mereka nampak berbincang serius dan Bintang tahu jika itu berhubungan dengan orderan.

"Jagungnya dua karung aja, terus okranya dua, sawi satu karung, wortel dua karung aja sesuai permintaan," Tandas pria yang gayanya agak wibawa.

Bintang perhatikan keduanya nampak akrab juga tak segan pria itu memberi senyum ramah pada ibunya. Ibunya membalas juga lekas menghitung semuanya dari kalkulator.

"Bintang ambilin pulpen!" Seru Lina.

Bintang menuju kamarnya dia tarik satu pulpen di dalam tabung berisi peralatan tulis. Segera dia menuju ruang tamu.

"Makasih, ya. Kamu ada ekskul enggak?" Tanya Lina sela menulis ribut di kertas yang enggak dimengerti Bintang.

"Enggak, Bu." Jawab Bintang.

"Sekolah di mana, dek?" Tanya pria itu pada Bintang.

Bintang agak gugup, dia agak pemalu soalnya terus dia sadar dia tak salaman. Buru-buru menyalami punggung tangan pria itu.

"Maaf, ya, pak, anak saya agak pemalu." Ucap Lina sela menulis.

"Enggak apa-apa, anak saya juga kaya gitu,"

"Gilang?"

"Iya, Gilang."

Bintang benar-benar tak enak jadi bahan pembicaraan ibu dan pria itu namun tunggu dulu! Gilang? Kenapa bapak ini ngomongin Gilang? Apa jangan-jangan ....

"Bintang anak saya juga sekolah di SMA dua-dua," Tandas pria itu, "Kenal sama Gilang?" Ramah bikin Bintang semakin yakin kalau beliau ....

Bintang agak gerogi, "i-iya, pak, kenal."

"Aduh biasa aja jangan gerogi. Gilang sama sekolah di sana. Cuma kamu kelas berapa?"

"Sepuluh."

"Oh, ia, berarti beda satu tahun. Gilang kelas sebelas sekarang. Suka sibuk tiap ke sekolah ngomongnya ekskul. PMR katanya," Paparnya.

Bintang banyak diam tak mau panjang-panjang hanya mangut-mangut saja. Terdengar jengah kalau bahas anak itu. Tak ada obrolan lain, kah?

"Kamu ikut ekskul apa?"

Tanyaan itu bikin Bintang membulatkan mata. "Pramuka."

Ibunya mengernyit. "Bukannya PMR?"

"Lah, sama dong kalo PMR berarti sama Gilang. Kenal enggak? Gilang Agil Regantara, putra bapak itu,"

Terkesiap dalam batin, benar-benar bikin jantungnya berhenti berdetak saat dengar nama kampret itu. Jadi dia bapaknya? Beneran! Suer! Arrgghh!!!

Satu kali menelan ludahnya bikin terpaku juga dibuat Lina mengernyit heran.

"Kenapa?" Sadar bapak itu.

Under Sunset In Skyline [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang