Bab 48: Miris

140 23 0
                                    

Bintang masih di perpus menghalau sudut matanya yang berair. Dia sekarang tenang cewek itu tak ada lagi. Gata meninggalkan bunyi pintu ditutup. Bintang memerosot badan melakukan posisi ke semula. Dia memejamkan matanya dengan kepala menengadah. Dia teringin tidur, tidur tak bangun lagi dan bangun sudah dijemput seseorang dengan mengulurkan tangannya. Mengajak untuk bersama seperti mimpi di lain lalu saat dengan seorang pemuda di pintu mobil pikap belakang merekah senyum padanya dan bilang, "Nanti main lagi ke sini." Bintang masih ingat hingga kini. Masih ingat dan ingin kata itu terwujud sekarang juga.

Tak boleh, enggak boleh mikirin yang macam-macam. Hanya karena gini terus otaknya berpikir ke mana-mana teringin pulang dengan saudara kembarnya yang tak ada lebih dulu meninggalkannya saat umur delapan bulan.

Dia kakak dan harus kuat. Tak apa dia payah saat di sekolah mengadang mereka tapi yang ini harus kuat menerima dengan tulus dada kalau dia kuat jangan memikirkan adiknya yang di sana. Dia enggak mau dia sedih karenanya yang selalu ingat.

Kuat. Harus. Yakin. Kakak dan harus kuat.

Bintang jalannya biasa dan entahlah ada sedikit linu pada bagian lutut. Dia juga merasa peninh meskipun agak sedikit. Dia duduk di tepi tangga merekatkan pikiran negatifnya yang semrawut tadi.

"Aku obati," Agnes orang itu, dia membawa kotak P3K. Duduk di sisinya, mulai membuka kotaknya mengambil peralatan obat. Mengobati dengan tulus pada pelipis temannya yang tergores aspal.

"Kata Pak William kamu sakit. Kok enggak bilang?" Interogasi Agnes sela mengobati.

"Hanya capek," Ucap Bintang mengelak.

Agnes senyum sumbing. Dia menempelkan plester di pelipisnya. "Jangan gitu. Kamu pikir aku enggak tahu?"

Bintang beranjak meninggalkan Agnes dengan jalan gesa-gesa menimbulkan Agnes yang diam bersikap biasa membereskan kotak P3K-nya.

Saat menuju kelas megambil seragam kemeja untuk mengganti dia kembali lagi saat dia akan menggantinya di kamar mandi. Dia terhenti di ambang pintu dengan pangkuan kemeja putihnya hendak ke kamar mandi.

"Gantinya di sini dong. Masa kek cewek ke kamar mandi, kagak malu apa," Cibir Gian yang sudah tak pakai baju sibuk merapikan seragam putihnya.

Eri yang masih lengkap dan mengorek kemeja dari ranselnya menuju Bintang.

"Gue ikut,"

Sekejap temannya yang sedang ganti baju di kelas menatapnya dengan mengernyit heran.

"Tumben, lo! Kagak kesambet?" Cibir Gian tak digubris jalan lebih dulu meninggalkan Bintang ke kamar mandi.

Bintang menyusul dan melihat punggung Eri di belakang. Dia jalm pelan tak ingin bareng dengan cowok itu. Dia harus jaga jarak. Tak ingin cowok itu banyak tanya namun Bintang juga bingung tumbennya cowok itu ganti baju di kamar mandi, biasanya dia suka gantinya di kelas bersama yang lain.

Eri berhenti melangkah dan langsung saja hadap belakang pada Bintang yang terpergok menatapnya dari belakang yang untungnya masih berjarak.

"Aku mau sama kamu. Enggak mungkin aku duluan ke kamar mandi ... banyak ceweknya," Ungkap Eri memalingkan pandangannya ke depan lagi namun tak kunjung meneruskan.

Aneh dan sungguh tanya. Dia kesambet jin hingga begini atau ada siasat evil yang dibikin Gian. Bintang menggelengkan kepalanya jalan lebih dulu ke kamar mandi dan benar saja kamar mandinya penuh. Saat tiba Bintang diam tak maju duluan tak ingin cewek lain tatap dia. Di sembunyi dari luar dan Eri menepak bahunya, "Kok enggak maju?"

Bintang canggung. Dia tak jawab.

Eri jalan lebih dulu lalu mengobrol entah apa hingga dia muncul lagi ke Bintang dengan senyum aneh senyum penuh keceriaan. "Kamu duluan aja."

Under Sunset In Skyline [BL]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora