BAB 42: Kemeja Merah

181 22 2
                                    

Masih tak ada yang aneh. Biasa saja dan rasanya dingin karena di luar. Bintang jongkok dan jarinya merasai lembap tanah. Dia mulai pegal dan penasaran dengan apa dia duduk di mana.  Suara kakak kelasnya di belakang masih ramai namun lambat laun suaranya jadi sunyisenyap. Bintang mulai bimbang saat mau melepas kain penutup mata, Desri berseru. "Jangan dibuka, baca doa sesuai keyakinan masing-masing."

Bintang tak jadi, lalu mengintip sedikit melalui celah yang bisa diintip dari batang hidung. Pairnya berdetak tak keruan, dia jongkok menghadap kuburan. Bintang memejamkan matanya kuat mulai komat-kamit merapal doa.

Agak lama dalam itu, Bintang tak enak perasaan apalagi kakak kelasnya menjahili dengan mengusap punggung lehernya juga berdesis menakut-nakuti. Tak takut karena tahu hanya saja telinganya tak enak karena ditiup oleh kakak kelasnya.

Agak lama dalam itu, Bintang diam saja saat menyadari kalau itu ulah kakak kelasnya juga dengar suara Gilang di sisinya. "Ares, hissh." Bisiknya seraya meniup punggung lehernya. Bukannya takut Bintang malah ketawa. Suara Gilang terlalu manis.

"Mohon buka penutup matanya," Ucap Desri lalu Bintang membukanya. Dia tak kejut karena Gilang di sisinya. Pun di depannya ada kuburan.

"Enggak ...?"

"Biasa aja. Udah tau kok," Kata Bintang menyela.

Gilang berusaha bergaya profesional. Dia pegang pergelangan tangannya lalu menuntun Bintang ke jalan setapak. Dia toleh ke belakang dan rupanya dia peserta satu-satunya di kuburan itu.

"Lapor!" Ucap Raga bersilang tangan dengan Gilang di sisinya.

Bintang bersama Adit yang senyum lega akan kedatangan dia.

"PMR unit ...," Adit mulai berlapor.

"Stop. Langsung aja, kapan PMR diadakan?" Tanya Raga dan Adit langsung menjawab.

Gilang di belakang keduanya dan Bintang menoleh ke belakang dengan mata sudutnya.

"Jangan sampai rusak, kalau rusak kalian enggak lulus jadi peserta!" Ancam tegas Gilang dan nadanya nyebelin.

Bintang melihat bunga kuning di tangannya yang diberikan oleh Gilang padanya.

"Tutup." Ucap Raga lalu Bintang maju satu langkah untuk menutup pos.

Entah di pos terakhir, Bintang dan teman-temannya berkumpul di tengah lapang yang sudah ada kobaran api unggun juga ada kakak kelasnya di sana.

Mereka membuat sudut lingkaran besar dan menghangatkan diri di sana.

"Permainan kali ini, agak pasaran juga tapi enggak apa-apa. Kalian tahu permainannya tinggal ucapin angka tapi jangan sebut angka nol dan dua. Paham!" Ucap Raga lalu yang lain menganguk.

Mulai berhitung dan tidak ada ada yang zonk. Bintang terlalu jemu kalau begini. Mana tengah malam dingin pula dan sisinya ada pohon salak yang bikin dia menelan ludahnya karena takut.

"100!" Ucap Bintang tak fokus. Bintang langsung menutupi mulutnya.

"Mangsa kita udah dapat. Siapa lagi ya?" Celetuk Desri mulai hitung lagi Bintang tak mau dia mengelak tak fokus namun permainan harus jalan lancar.

Bintang di tengah melihat temannya yang gagal fokus.

"140, eh, 141 dua!" Kata Sheril belepotan.

"Hore kalian jodoh." Desri langsung saja menyeret tangan Sheril ke tengah.

Keduanya berhadapan. Sheril biasa saja malah bertingkah gemas saat melihat ekspresi Bintang yang malu campur gugup.

"Hayo, silakan gombal, Intan!" Ucap Desri lalu ketawa.

Under Sunset In Skyline [BL]Where stories live. Discover now