BAB 36: Tenang

160 27 0
                                    

Gilang dibikin penasaran soal adik kelas kesayangan dia tiba-tiba begitu. Terbersit tanya soal kata-kata Bintang tadi. 'memaafkan juga melupakan' tentang apa?

Alisnya bertaut memikirkan itu sembari menatap layar monitor laptop di perpus.

'Apa yang didapatkan dari orang cupu sepertiku saat sekolah?'

Kata-kata itu teringat. Gilang mengetik ragu dipapan keyboard lalu mengetik tiap-tiap huruf menjadi sebuah kalimat.

'Dampak bully pada orang semasa sekolah'

Gilang mengetuk pencarian tak lama menampilkan artikel mengenai pencariannya. Dia gulir ke bawah mengetuk sesuai dengan pencarian dia dan menggulir pelan membaca tiap kata si artikel.

Bola maatanya bergerak merapal dalam batin artikel yang membahas soal dampak bully. Gilang mulai resah dengan tulisan yang berisi keresahan hati dari korban perundung.

Laptopnya ditutup dengan menarik napasnya pendek-pendek juga mimik wajah ketakutan. Gilang sekarang paham dengan itu tentang masalah yang mendera Bintang. Dia memegangi kepalanya memejamkan mata juga mengerang menahan frustasi akan apa yang dirasai Bintang dulu.

Dia jalan agak lari dari koridor menuruni tangga dengan tak sabaran seakan terlambat dari jadwal penerbangan. Dia naik tangga lagi menuju kelas sepuluh karena sekolah letter H di tengah sedang ada tumpukan kursi sedang beres-beres dari siswa kelas sepuluh IPS lima.

Gilang berhenti di luar kelas Bintang. Dia intip dari kaca jendela mencari pria manis itu yang sedang sedih. Dia mendapatkannya. Bintang sedang senyum semringah dengan tawa yang lain saat guru sedang memaparkan pelajaran bersambung gurauan agar tidak bosan.

Bel berbunyi dan semuanya usai. Keluar dari kelas memenuhi koridor. Untungnya Gilang menggendong ranselnya karena kelas sebelas sudah pulang lebih dulu dikarenakan ada rapat.

Gilang menepi dengan berdiri di ambang pintu kelas sepuluh dua. Pelajar jalan dengan tawa di koridor melewatinya tak tahu lekas koridor sepi hanya Ai yang terakhir menyapanya dengan ramah. Gilang membalasnya lalu heran kalau Bintang tak kunjung berlalu di koridor.

Dia mengintip dari kaca jendela lagi lalu dia tak ada ketutup gorden, langsung saja mendekati ambang pintu. Sekarang dia menemuinya. Pria itu sedang menyalin tulisan papan tulis ke bukunya. Dengan rajin juga seorang diri dengan isi kelasnya yang sudah hilang.

Raut itu raut senang. Lalu terbersit kata-kata Bintang soal 'enggak ada yang tahu perasaanku, sekalipun wajahku sedih, mereka menilaiku ceria.'

Melangkah pelan lalu duduk di kursi kosong dekatnya. Dia tarik hingga berhadapan memandanginya dengan menopang dagu oleh kedua tangan bertaut.

Gilang manis sekali bermaksud memberi kejutan soal kedatangannya tiba-tiba.

"Rajin banget. Aku suka liatnya." Pujinya tak bikin dia menengoknya balik, dia asik menyalin.

Rambutnya dibelai oleh Gilang yang sekarang tidak ada rasa risih darinya untuk menepis atau memalingkan kepalanya.

"Aku siap menampung cerita kamu." Gilang sejenak membuatnya berhenti menulis. Dia tutup bukunya lalu dimasukkan ke dalam ransel. Lalu digendong.

Bintang manis kalau senyum begini.

"Walaupun beratus bab?" Tanya Bintang memastikan.

Gilang masih menopang dagunya menganguk ia dengan ekspresi sok imut.

"Kita pulang, ada hal indah yang harus dinikmati," Ucap Gilang lalu dia menganguk dengan bangun lebih dulu melangkah keluar.

Dia dibonceng dengan motor ninjanya milik Gilang. Lalu berhenti menepikan motornya saat sebuah tumpukan jerami masih utuh di tengah sawah. Keduanya jalan bersama lalu duduk di tepian menunggu senja yang bentar lagi akan menyambut.

Sela angin membelai rambut, keduanya mengisi kekosongan dengan melempar obrolan.

"Boleh aku tahu pagi kamu kenapa?" Tanya Gilang nadanya penuh hati-hati.

Bintang bersikap biasa senyum sekilas terasa jengah bercerita.

"Hanya mengingat kenangan pelik."

"Boleh aku tahu sedikit kalau tidak keberatan,"

Bintang tawa kecil lalu memandang Gilang dengan tatapan yakin.

"Benarkah?"

Gilang menganguk yakin.

"Kalau lagi olahraga, biasanya aku duduk di pinggiran. Liatin mereka yang sedang olahraga. Enggak ada yang ngajak karena aku enggak bisa main. Sekalinya main enggak ada yang membiarkan aku gabung grup, sekalinya gabung, mereka enggak acuh."

Gilang mendengarkan dengan raut terhenyak. "Kenapa mereka gitu?"

"Tiap orang punya penilaian sendiri-sendiri. Bagus, hanya saja kurang tepat untuk orang kayak aku. Kita butuh referensi sebagai bahan acuan dari orang lain hanya untuk konsumsi pribadi selebihnya kita hati yang menilai. Tapi ... Mereka hilang pendirian karena kemakan orang. Hingga penilaian sendiri kalah dengan penilaian yang sebatas ikut-ikut." Lirih Bintang lalu menundukkan kepalanya.

Gilang mengusap punggungnya menengkan. "Satu kata buat orang kayak gitu,"

Bintang mengangkat kepalanya lalu senyum dan dari matanya kayak berair.

"Sayang ..." Kata Bintang tulus, lalu memandang Gilang dengan raut sedih juga matanya berkaca-kaca, "boleh lebih?"

Gilang menganguk, "Sayang dan tak perlu minta maaf, karena aku udah maafin." Terang Bintang senyum getir bikin Gilang tak tega ingin menghalau bulir air yang menggenangi pelupuk matanya.

"Aku akan bikin kamu senyum melupakan hal pelik lalu menggantinya dengan kenangan manis." Semangati Gilang memegang kedua bahunya.

"Tak perlu. Kakak udah memasukan aku dalam kumpulan orang-orang baik," Tolaknya senyum lagi.

Senjanya mulai terukir dari langit. Gilang menunjuk ke gunung yang sudah mataharinya bersemayam akan tenggelam ditelan bumi. Warnanya oren bercampur merah jingga demikian sinarnya hangat menyentuh dahi. Awannya putih juga bernas bergerak pelan membentuk gumpalan di langit.

"Di bawah senja cakrawala," Lirih Bintang memberi judul untuk hari ini. Gilang senyum lalu menikmatinya lekat-lekat sembari mengalungkan tangannya ke leher Bintang agar merasa tenang juga nyaman.

Under Sunset In Skyline [BL]Where stories live. Discover now