BAB 18: Dua hati

227 29 0
                                    

Motornya menderum berlabuh di sekolah lagi. Desri mengulurkan ransel Gilang. Dia segera naik ke jok untuk pulang bersama setelah acara beres-beres telah dilakukannya seorang diri.

Motornya memacu lagi, memacu biasa menikmati langit redum.

"Apa yang bikin lo deket Bintang?" Tanya Desri di jok belakang.

"... Hanya melakukan tugas."

"Tugas apa?"

"Ketua,"

Desri senyum remeh, "Lo banyak bantu dia dan kapan dia mau belajar."

Gilang diam sejenak, "Dia tangguh. Aku percaya. Dia akan lebih dari kita. Aku yakin."

Desri berdecak lalu menepuk bahu temannya yang tak se-frekuensi itu.

Kini motornya tanpa penumpang. Hanya seorang diri memacunya di jalan menyisakan derum motor berat setelah mengantar Desri ke rumahnya. Langit itu redum juga awannya putih keabuan dan suasana jalan ramai dari kendaraan pribadi yang habis berlibur akhir pekan. Gilang berlabuh di steam motor untuk mencucinya sudah berlangganan setiap seminggu empat kali.

Dia bersilang kaki di kursi panjang menunggu motornya dengan menggulir layar gawai. Pesan Bintang perdana menyapanya dengan:

'Halo Kak, ini Ares, ingin menanyakan soal mading tadi, Senin dibawa?'

Gilang senyum lalu membalasnya dengan:

'Simpan di kamu dulu. Jangan dibawa, nanti aja. Silakan kreasikan sesuai hati kamu.'

Motornya mengkilap seperti baru, Gilang menungganginya lagi membawanya menuju pulang. Halaman utama rumah terisi mobil pribadi merah juga hitam milik ayahnya. Dia parkir motor ninja itu di sisi di belakang mobil, lalu menuju dalam melewati ayahnya yang sedang baca koran ditemani camilan sandwich di meja bundar. Ayahnya menoleh pada putranya yang datang tak menyapa atau basa-basi langsung tancap menuju rumah seakan ayahnya tak ada. Beliau menggelengkan kepala mulai merapal lagi.

Satu hingga empat berterus memijak anak tangga menuju kamar. Kunci motor dia mainkan dari di jari telunjuknya seraya mata fokus menatap gawai.

Dia buka pintu kamar lalu masuk langsung saja mengempas badan ke kasur empuk. Kedua pasang mata masih menatap gawai yang menampakan grup Line yang ribut, rupanya dari bincang adik kelasnya yang debat.

Adit: 'Kita jodging ke gunung!'

Dion: 'Kapan, bro! Gue mumet di rumah, nih.'

Fitri : 'Enggak sopan di grup ada kakak kelas. Pesan private aja.'

Ares: '😳'

Gilang kali ini senyum melihat balasan Bintang yang nimbrung di Line. Dia mengetuk profil lalu dia dekatkan ke telinga untuk menelepon.

Panggilan pertama tak diangkat, mungkin saja Bintang canggung atau rehat di rumah karena capai kegiatan tadi. Tak ingin diganggu?. Lalu bibirnya menggulung ke dalam memikirkan sebuah cara agar Bintang sering datang ke rumahnya untuk bersamanya lebih lama. Dia beranjak keluar kamar lalu mengetuk pintu Teo.

Tuk, tuk, tuk, Gilang mengetuk pintunya tak sabaran.

"What?" Sahut Teo nampak baru bangun dari tidur sembari mengucek matanya yang merah.

"Boleh pinjam pilau?" Tanya Gilang bikin Teo agak mengernyit, "pilau itu apa?"

"Perahu,"

"Di gudang belakang," Timpalnya lalu menutup kamarnya lagi.

Gilang segera keluar melewati ayahnya yang menikmati camilan juga baca koran. Beliau alihkan tolehannya sejenak pada anaknya yang jalan ke samping.

Pintu gudang terkunci lalu dia usap debu yang mengotori jendela untuk mengintip suasana dalam. Gilang menuju rumah melewati ayahnya yang lagi-lagi menoleh ke belakang mengikuti anaknya oleh pasang mata.

Under Sunset In Skyline [BL]Where stories live. Discover now