BAB 13: Terbaik

254 32 0
                                    

Langit kini hilang cahayanya tergantikan oleh malam yang dingin. Juga lampu-lampu tersinar menggantikan bagaskara yang gata berganti candra bergentayangan di langit sekarang. Sepatunya memijak jalan aspal menuju pulang. Tergurat rasa syukur jika dia diantar Gilang juga rasa syukur hatinya sudah bersih tak tersisa sebuah tanda tanya juga kecanggungan dia tentang kelakuan aneh yang dia dapati.

Rumahnya telah terlihat. Dihiasi lampu neon juga menggantung beberapa pot bunga yang menghiasi teras rumah. Daun pintu diputar lalu bunyi derit pintunya menyambut. Keheningan rumah menjadi penyambut pertama untuknya. Sunyisenyap hanya ketak-ketik jam di dinding ruang tamu.

Bintang tahu jika ibunya tak ada sedang keluar rumah menuju Jajang untuk orderan sayurnya. Dia empas pantatnya di sofa kayu di ruang tamu yang hanya dia sendiri. Dia lepas tali simpul sepatu berlanjut kaus kakinya, yang mencampakkannya di pojokan.

Teko kaca berisi air dia kucur ke gelas. Lalu diminum menyisakan tegukan.

Bunyi air keran di toilet. Bintang sedang bersih-bersih diri setelah penat menguras otaknya di sekolah. Entah kenapa dia begitu capai padahal yang digunakan ialah otak bukan tenaga. Lima belas menit dia keluar dengan handuk melilit pinggang lalu menuju dapur mencari sesuatu yang diperlukan perutnya.

Dia isi perutnya di meja makan. Denting sendok di piring mulai mengisi kekosongan rumah. Selepas makan, dia cuci di wastafel lalu ditiriskan rak. Dia minum dengan jongkok menghadap dispenser. Gelembung air dari galon menyembul dari dalam.

Diam agak lama Bintang di sana. Hanya kedipan yang terlihat dari Bintang lalu segera menuju kamar mengempas dirinya pantatnya di kasur menghadap kaca. Dia arahkan angin panas pengering rambut agar kering.

Dia juga gunakan lip balm saat bibirnya kering dia jarang minum hingga bibirnya jadi begini. Aromanya tenang saat lengan juga kakinya dibaluri lotion. Dia hirup aromanya lalu dia taruh botol lotion ke rak dinding yang memajang Minion juga perawatan seperlunya.

Dia merebah diri menghadap langit-langit. Badannya belum terbungkus namun celananya sudah terpasang. Kebiasaan yang tak bisa absen. Dia sering begitu saat sehabis mandi tak langsung mengenakan baju hanya bertelanjang dada, tiduran terus ketiduran.

Dia rogoh gawai dari nakas. Sebuah pesan Line menyambutnya. Bintang senyum sendiri seraya membuka juga membalas pesan grup PMR-nya.

Langit benar-benar gelap hanyana bertebar bintang bermilyar yang kedip-kedip juga sebuah lampu dari langit yang hanya menerangi atap tak kecuali bawahnya yang berhasil diterangi lampu rumah salah seorang warga.

Bunyi alam mulai terdengar oleh kuping Bintang. Tak tahu waktu jika sudah larut begini dirinya masih tak pakai baju. Dia hanya menutupi badan pelontosnya oleh selimut juga tak hirau nyamuk sudah berseliweran dari udara, bersiap menusukan mulut mereka yang mirip jarum lalu menghisap darah terus kabur dengan kantung peotnya yang gemuk merah.

Gawai jadul dari sisi televisi LED di meja panjang ruang tamu berdering. Bintang menoleh ke suara itu sesaat menyadari kalau ibunya pergi tanpa bawa gawai. Buru-buru bangun menyisakan bunyi langkah kakinya di lantai.

"Halo ...?" Bintang mendekatkan gawai ibunya ke telinganya.

"Bintang ini Ibu," Suara Lina menyahut.

"Ibu kapan pulang?"

"Ibu lagi di rumah pak Geri buat nyelesain orderan okra. Kamu udah pulang sayang?"

"Udah, kok. Lama enggak pulangnya?"

"Nanti Ibu pulang nak. Kalo lapar makan aja Ibu udah masakin. Mau oleh-oleh apa dari Ibu? Sekalian pulang dari Bekasi buat antar pesanan,"

"Kacang rebus yang dijual di pinggir jalan," Pinta Bintang semangat.

Under Sunset In Skyline [BL]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora