BAB 72: Akhir Dari Kita

840 46 10
                                    

"Ini anak saya, namanya Bintang silakan mengobrol dulu," ucap ibunya saat Bintang berkumpul di ruang tamu bersama beberapa orang yang rapi dan mengaku sebagai pengurus pondok pesantren. Mereka kenal dengan Lina kendati teman ayahnya lalu.

Bintang duduk di sofanya. Dia entah ingin memulai darimana. Diam sejenak dan agak lama hingga ucapan mulai keluar untuk menanggapi.

"Lama enggak, Pak di sana?" ucap Bintang begitu bikin ibunya Lina menatapnya agak terkejut.

Pengurus melihat mata Bintang begitu menahan sebuah kepahitan yang dipendam terdengar dari suaranya dan lebih ke tanyaan yang rapuh.

Usai itu Bintang mengurung diri di kamar setelah bincang dengan pengurus meskipun dia jengah untuk mendengar. Dia tak mentulikan soa lama dia di sana. Bintang duduk meringkuk memeluk kedua lutut bersandar ke dinding dengan kedua lututnya dipeluk begitu kuat. Kepalanya menegun tak mau memperlihatkan wajah buruknya yang terisi kesedihan.

Paginya pukul setengah enam, dia lari sekencang-kencangnya menebas rasa dingin begitu kuat mendera tubuhnya yang hanya berbalut kaus putih dan celana levis selutut. Di tepi jalan yang jalannya masih rada lengang berlalu mobil dan motor hanya berselang beberapa menit.

Napasnya mengebu tak menurunkan kecepatan larinya yang dalam seperti kuda, membawanya entah ke mana terus menuntut kakinya untuk melangkah lebih cepat lagi. Derapnya terlantun di jalan itu yang agak lengang hingga kepalanya tersinar hangatnya matahari yang menyelinap di antara batang pohon dan daunnya.

Bintang berhenti berlari menyisakan bunyi tarikan napas begitu boros. Dia kembangkan senyumnya begitu merekah saat mendapati sebuah ayunan gantung waktu lalu sering ke sini bersama Gilang.

Dia ketawa sendiri mengayunkan badan di ayunan itu sembari menikmati angin pagi dan suasana perbukitan hingga tawanya redup berganti kemurungan. Dia bosan lantas jalan menuju sungai merasakan dinginnya air di sana yang lalu dia dengan Gilang pernah ke sini.

Pintu dibuka menampakan Agnes di rumahnya yang didatangi Bintang untuk bermain bersama. Ia masuk melupakan kisah peliknya tanpa bercerita panjang lebar mengenai perpisahan dia akan ke pesantren namun entahlah begitu setengah hati Bintang untuk ke sana. Ia ingin sekolah bertemu dengan teman-temannya untuk kelas tiga.

Dia banyak diamnya saat Agnes gelak tawa cerita di balkon mengingat kegiatan ekskul yang lucu. Hingga Agnes sadar kalau ada yang tak biasa dengan raut temannya yang menyimpan sebuah rahasia kesedihan.

"Galau terus. Mau sampai kapan?" celetuk Agnes menepuk bahunya. Bintang tersadar lalu tawa kecil.

"Bentar lagi masuk kelas. Gue harap kita sebangku lagi," ucap Agnes dia mencomot kue tradisional bernama bobongko dari olahan pisang.

"Iya, gue harap kita samaan lagi, ya." senyum manis melupakan kisahnya dengan menunjukkan dia yang asli lagi.

Dia tertawa memulai cerita riang kembali.

"Lo kenapa kek galau?" ucap Agnes menikmati mukbang seblak bersama temannya yang banyak diamnya. Dia masih di balkon makan lesehan menikmati makanan itu yang punya rasa pedas tinggi.

Pipi Agnes memerah sembari menyusut peluhnya oleh tisu. "Buset si amang. Gue dendam anjirr." keritik Agnes tak kuasa menahan pedas seblaknya.

"Makannya yang banyak, dong, jangan sedikit lo!" kesal Agnes pada temannya yang makannya sedikit-sedikit.

Bintang menaruh sendoknya pada baskom seblaknya. Dia kian tak berselera larut akan galaunya yang menguasai.

"O-M-G buset, dah." Agnes menarik tisu menyusut peluhnya banyak-banyak.

Dia tepar ke belakang menjulurkan lidahnya sembari di kipaai oleh lengan.

"Gue pisahan sama Gilang," ucap Bintang raut cemberut.

Under Sunset In Skyline [BL]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu