Pemeran Antagonis yang Sebenarnya🏠

1.9K 256 54
                                    

Di depan teras, seperti yang Jibran lihat beberapa tahun lalu. Punggung tegap itu mirip sekali dengan Harsa, ukurannya saja yang berbeda. Duduk di bawah alih-alih di kursi, menatap ke atas pada langit malam yang hanya menyisakan bulan dan para bintang. Jibran merasa de javu, sebab pemandangan di hadapannya kini bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Dia pernah melihat sang Abang menangis diam dengan posisi seperti itu.

"Sebenarnya hidup itu buat apa sih, Dek?"

Pertanyaan itu masih belum bisa Jibran jawab sampai sekarang. Bahkan menurut Jibran, itu jauh lebih susah ketimbang matematika meskipun Jibran juga tidak begitu pintar. Tapi menurutnya, pertanyaan itu memang tidak bisa dijawab. Saat itu Jibran melimpahkan pertanyaan itu pada Lele, yang ternyata sudah terdiam lama di belakang mereka.

"Kalo kata Bang Asa, jadi bulan itu ngga enak."

Jibran duduk di samping sang Ayah, menemani pria tua itu dalam sunyinya malam. Mendapat reaksi terkejut dari sang Ayah, Jibran terkekeh pelan lantas segera memeluk pahlawannya tersebut. Menumpahkan kepalanya pada paha sang Ayah, yang langsung mendapat usapan lembut dari tangan Ayahnya itu. Jibran dapat merasakan kekhawatiran pada dalam diri sang Ayah, namun Jibran masih belum bisa masuk ke sana. Dia merasa sangat sulit untuk masuk dalam lingkup orang dewasa.

"Ayah mau tau ngga jawabannya?" Jibran mendongak, menatap lucu pada sang Ayah yang balasannya sudah dia tunggu-tunggu.

"Kenapa memangnya?"

"Ngga tau sih, Abang ngga mau jawab kenapanya. Ayah nanya aja ke Bang Asa nanti."

Johnny terkekeh, agaknya Johnny harus bertanya langsung pada Harsa agar rasa penasarannya hilang. Tapi kapan? Bahkan Putranya itu sudah semakin menjauh. Semakin tajam mata Johnny menatap pada bulan di atas sana, melihat itu semakin membuat Johnny rindu dengan Putranya. Bahkan Nana dan Raka tidak pulang, rumah Yoona sekarang sudah sangat ramai sepertinya.

"Ayah ingat ngga? Dulu Ayah pernah janji sama Adek, kalo Adek bisa naik sepeda nanti Ayah bakal turutin apapun permintaan Adek."

Jibran duduk dengan tegak, matanya menatap lain tidak berani beradu padan dengan mata sang Ayah. Dulu sekali, mungkin saat Jibran masih berumur enam tahun. Semua Kakaknya sudah pandai untuk mengayuh sepeda, bahkan mereka seringkali balapan, biasanya Mahen yang akan menjadi jurinya. Jibran sangat iri, kakinya bahkan selalu tidak bisa bergerak saat tubuhnya sudah sangat siap untuk melajukan sepeda beroda dua milik Lele dulu.

Jibran tidak bisa naik sepeda, dia selalu jatuh saat terus mencobanya. Sudah di titik marahnya, akhirnya Jibran menyerah dan menganggap sepeda adalah salah satu musuh terbesarnya. Siapapun yang bermain sepeda di hadapannya, Jibran akan langsung menendangnya tidak peduli orang itu akan jatuh bahkan bisa sampai terluka.

"Kalo Adek mau nyoba belajar naik sepeda lagi, dan Adek berhasil. Ayah bakal turutin permintaan Adek, apapun itu."

Jibran menolak keras saat itu, dia merasa sudah memiliki semuanya sampai-sampai tidak butuh perjanjian manis seperti itu. Sekalinya musuh tetap musuh, dan posisinya Jibran sudah merasa benci dengan sepeda, jadi dia sangat malas untuk mencoba berbaik kepada musuhnya yang selalu membuat kaki dan tangannya terluka. Lagi pula apapun yang dia minta, siapa yang berani menolaknya? Atau tangisan kencangnya akan memggema di seluruh sudut ruangan yang ada di rumah.

"Waktu Ayah pisah sama Buna, Adek belajar keras buat bisa naik sepeda."

Sembari mendengarkan, Johnny terus berusaha untuk mengingatnya kembali. Sementara di sampingnya, Jibran terus saja menghela nafas seperti orang dewasa yang sedang dalam masalah. Tapi dia memang sudah dewasa, orang lain saja yang terus menutup mata seakan-akan Anak bungsu tidak akan pernah ada difase kedewasaan.

Home || Nct Dream✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang