41 : Tangis

21.3K 1.4K 150
                                    

Berpisah karena paksaan.

•••


“Pergi! Pergi!”

Cilla hendak maraih tangan Marwah, namun perempuan itu langsung menepis tangan Cilla dengan kasar. “Maaf..”

“Saya tidak butuh maaf kamu!” Teriak Marwah.

Rion langsung memeluk Marwah, menenangkan istrinya. “Udah, Bun. Cilla nggak salah disini.”

“NGGAK SALAH BAGAIMANA?” Marwah melotot ke arah Rion. “Anak kita satu-satunya harus ma—” Marwah jatuh terduduk. “Usir dia, Pa.”

“Bunda, Cilla minta maaf. Ini diluar kemauan Cilla maupun Valcano.” Tangan Cilla mengatup, memohon agar Marwah mau memaafkannya.

Marwah menggelengkan kepalanya, enggan untuk memaafkan Cilla. Wanita itu tidak sanggup lagi, Marwah hanya bisa menangis.

“Bunda..”

“PERGI!”

“Bunda... Maafin, Cilla. Please.”

“Pergi atau saya akan memanggil satpam?!”

Cilla tetap tidak mau. Dia masih ingin bertemu Valcano. “Bunda, biarkan Cilla lihat Valcano sebentar saja ya, Bun.”

Marwah tetap menggeleng. “Enggak! Kamu seharusnya mikir, anak saya begini itu karena kamu! Dasar pembawa sial!”

Cilla tertegun. Pembawa sial?

“Kamu hanya menyusahkan orang-orang sekitarmu! Kamu hanya membuat orang-orang sekitarmu celaka! Kamu hanya membuat orang-orang sekitarmu tertimpa sial! Saya benci kamu!”

•••

“Cia-nya Mama kenapa nangis?”

Cilla memeluk tubuh Renata. “Mama..”

Renata menyambut pelukan Cilla. “Cia kenapa?”

“Bundanya Valcano marah sama Cia, Ma.”

Renata heran, apa yang terjadi dengan Cilla? Kenapa anaknya tampak baru saja menangis? Siapa yang telah membuatnya menangis?

“Cilla.”

“Cia mau istirahat aja ya? Cia capek.”

Renata mengangguk dan membiarkan anaknya itu masuk ke dalam kamarnya. Dia tidak akan memaksa Cilla untuk bercerita jika putrinya itu tidak mau.

Renata akan siap mendengarkan keluh kesah anaknya kapan pun itu.

“Mama! Cilla udah pulang?” Tanya Silla yang tiba-tiba muncul. “Tadi Sia denger suara Cia.”

Renata mengangguk. “Iya, Cia udah pulang.”

“Um, ya udah Sia mau samperin Cia dulu ya, Ma.”

“Eh jangan, sayang!” Renata mencegah Silla. “Cia lelah, mau istirahat.”

Silla bingung sesaat namun akhirnya dia mengangguk dan mengurungkan niatnya untuk menghampiri kamar kembarannya itu.

•••

Cilla masuk ke area sekolah dengan tubuh yang lesu, tidak ada semangat di wajah gadis itu. Harinya akan abu-abu tanpa Valcano. Beberapa pasang mata menatap ke arah Cilla yang tampak berantakan itu.

“Cilla, gue denger lo sama Valcano habis kena begal ya—eh begal atau apa sih?” Tanya salah satu siswi.

“Iya,” jawab Cilla lesu.

“Ohh, gue turut ber—” Siswi itu urung untuk melanjutkan ucapannya karena bahunya disenggol oleh temannya.

Cilla memilih untuk tidak peduli, dia memilih melanjutkan jalannya ke kelas. Sejujurnya, dia masih belum siap untuk ditanya ini dan itu.

“Cilla!”

Cilla menoleh dan melihat Nams yang sedang berjalan ke arahnya bersama Avines dan Ciko yang ada di belakangnya.

“Iya, Nams?” Sahut Cilla lirih.

“Lo.. Lo okey kan?” Tanya Nams.

Cilla hanya menjawabnya dengan senyuman tipis. Avines menyentuh bahu Cilla, lalu menarik gadis itu ke dalam pelukannya.

Dan..

Cilla menangis dipelukan Avines.

“Gu—Gue nggak bisa gini, Vin..”

“Lo kuat, lo bisa,” ucap Avines.

Avines mengusap surai rambut Cilla dengan lembut. Dia paham dengan posisi sepupunya saat ini. Dia juga sama terpuruknya dengan Cilla.

Cilla melepas pelukannya seraya mengusap air matanya. Dia lalu menatap Nams. “Ada apa?”

“Om Rion pesen sama gue, lo bisa nggak nanti pulang sekolah ke kantor polisi?”

Cilla mengerutkan dahinya, heran. “Ke kantor polisi?”

Nams menangguk. “Polisi mau minta keterangan sama lo.”

Avines yang disebelah Cilla pun kembali menguatkan gadis itu. “Gue temenin.”

Cilla mengangguk. “Iya deh, bilang sama Om Rion kalau gue bisa ya, Nams.”

“Sip!” Nams mengangguk. “Vin, Ko, kelas yok.”

“Lo berdua duluan aja, gue mau disini dulu.”

Nams dan Ciko kemudian meninggalkan keduanya. Cilla dan Avines duduk di depan kelas Cilla. Avines melihat wajah Cilla yang berantakan. Mata yang sembab, wajah dan hidungnya merah, Avines yakin jika ini karena Cilla menangis. Tidak salah lagi. Itu pasti.

“Bundanya Valcano marah besar ke gue, Vin.”

•••

Kangen Valcano ga si?

Spam next disini!

Nanya nih, kalo cerita Valcano terbit, kalian mau beli?

ValcanoWhere stories live. Discover now