31 : Rooftop

24K 1.9K 44
                                    

Katakan kepadaku, sebuah kejujuran yang keluar bukan kebohongan licik.

•••

“Kesempatan kedua.”

Cilla menggeleng. Saat ini, Valcano sedang berada di depan rumahnya. Lelaki itu nekat malam-malam datang ke rumah Cilla.

“Gue nggak bisa kasih lo kesempatan kedua, Val.”

“Seburuk itu gue di mata lo?”

Cilla menaikkan satu alisnya. “Hm, sikap-sikap lo ke gue itu yang bikin gue ragu buat kasih lo kesempatan kedua.”

“Cil.. please.”

“Ini udah malam, Val. Mending lo pulang ya. Nggak enak kalau sampai dilihat sama tetangga gue.”

Valcano seperti orang bodoh yang datang kepada Cilla untuk meminta maaf, meminta kesempatan kedua. Rasa bersalahnya kepada Cilla lah yang membuatnya seperti ini. Tidak tenang rasanya jika dirinya belum mendapat maaf dari Cilla.

“Gue bakal ubah sikap gue ke lo,” kata Valcano.

Cilla tersenyum, membuat Valcano merinding melihat senyuman itu. Senyum yang dulu selalu dia sia-sia kan.

“Lo bakal tunangan sama Messa, Val.. Jadi lo nggak perlu repot-repot buat minta kesempatan kedua ke gue,” kata Cilla lembut. “Messa adalah takdir lo, bukan gue.”

“Lagi pula dari awal lo udah pilih Messa kan, bukan gue?”

Valcano meremang. “Cilla.. Masalah tunangan.. I—itu diluar pengendalian gue.”

“Lo nggak perlu jelasin apa-apa. Emangnya gue siapa lo?”

Damn.

Cilla benar, memangnya siapa dirinya? Bukan pacar lagi melainkan mantan.

“.. Bukan siapa-siapa kan?”

Valcano diam.

“Lo seharusnya saat ini sedang sama Messa, mempersiapkan hal yang dibutuhkan saat acara pertunangan kalian nanti, pasti kalian repot.”

“Lo bisa ngelepas gue?” Tanya Valcano.

Deg!

Cilla terdiam seketika. Pertanyaan Valcano gampang, namun dia bingung menjawab apa. Jelas jawabannya adalah tidak. Cilla tidak rela melepas Valcano, Cilla tidak bisa melepas Valcano.

“Cil. Jawab gue.”

“Gue bisa..” lirih Cilla. “.. Iya, gue bisa lepas lo, Val.”

“Lo bohong,”

“Enggak, Val. Gue nggak bohong.”

Valcano tersenyum lebar. “Lo nggak bisa ngelepas gue, begitu juga gue.”

“Val.. pergi!” Cilla mulai mengusir. “Lo ganggu jam tidur orang tau nggak? Nggak sopan! Pergi!”

“Iya, gue pergi. Goodnight Cillanera.”

Sialan!

•••

Beberapa hari kemudian...

Messa membagikan undangan pertunangannya dengan Valcano yang akan diadakan di acara ulangtahunnya. Cilla juga dapat undangan tersebut.

Dia membaca nama Valcano dan Messa disana. Dadanya terasa sesak, namun dia hanya memberikan senyuman luka ketika melihatnya. Cilla kuat.

Jika Valcano masih akan menjadi miliknya, maka semesta  akan mempersatukan mereka. Jika Valcano bukan untuknya, Cilla akan menerimanya.

“Cilla.. Lo gapapa?” Tanya King  yang kebetulan lewat depan kelas Cilla.

Sedari tadi, lelaki itu memperhatikan Cilla yang dihampiri oleh Messa. King kira Messa akan macam-macam dengan Cilla, namun ternyata tidak.

Cilla mendongak. “Iya, King. Gue gapapa.”

“Yakin?”

Cilla mengangguk. “Iya.”

Cilla masuk saat King berlalu dari kelasnya. Beberapa anak sibuk membicarakan undangan pertunangan Messa dan Valcano. Sesekali mereka menatap Cilla yang diam dengan pikirannya yang kacau.

“Kan, udah gue bilang kalau dia emang nggak pantes sama Valcano,” suara Anggun menggema. Dia kembali berani membully Cilla.

“Lo ngomongin gue, Nggun?” Cilla berdiri.

“Iya! Kenapa? Berani lo sama gue?” Tantang Anggun.

“Berani.”

“He Upik abu, nggak usah sok-sok an lo sama Anggun,” teriak Layla.

“Lo nggak usah ikut campur, Lay! Lo ingat kan kalau lo pernah minta tolong sama gue saat sekolah kita diserang?” Cilla tersenyum dengan ucapannya, menang. Layla tampak kelabakan mendengarnya. “Dan lo, Nggun! Lo kalau masih belum bener nggak usah bacotin hidup orang.”

Anggun meradang. “Sial! Emang lo siapa beraninya jelek-jelek in gue.”

“Gue manusia dan gue nggak akan diam aja kalau gue diinjak-injak!” Jawab Cilla sambil melemparkan undangan yang ada di mejanya ke arah Anggun, mengenai pipi gadis itu.

Setelah itu, Cilla mengambil tasnya dan pergi dari kelasnya.

•••

“Masuk kelas dari pada lo kena hukuman.”

Suara itu.. Valcano. Sial, maki Cilla dalam hati. Kenapa dia ketika mendapatkan ketenangan dan bisa melupakan Valcano malah lelaki itu muncul.

“Lo pergi! Gue mau disini,” kata Cilla.

“Lo habis ribut kan sama Anggun dan Layla?”

“Apa pedulinya lo.”

“Gue tentu peduli sama lo, Cil.”

Cilla menggeleng dengan tertawa garing. “Peduli? Lo telat kali. Pergi!”

Valcano menghampiri Cilla duduk disebelah gadis itu. “Lo nggak kayak gini, lo berubah.”

“Gue berubah juga bukan urusan lo. Gue cuma mau upgrade gue yang lemah jadi nggak lemah lagi.”

Cilla menatap lurus ke depan.

“Gue udah suruh lo pergi kan? Pergi!” Usir Cilla. “Jangan rusak ketenangan gue, cukup hati gue aja yang lo rusak.”

“Cilla.. Ma—”

“Gue udah maafin lo, jangan pernah minta maaf lagi karean itu bikin gue bosen, muak.”

Rooftop tidak aman lagi, Cilla mengambil tasnya. Valcano memperhatikan Cilla, seragamnya keluar semua, dia tak memakai dasi.

“Kalau lo nggak mau pergi, gue yang pergi,” kata Cilla.

“Tunggu, Cil.”

“Hm?” Cilla menaikan satu alisnya. “Oh, lo mau tanya gue datang ke acara lo? Tenang, gue datang kok.”

“Bukan, lo bener-bener lepasin gue?”

“Iyalah. Gue juga udah punya cowok.”

Valcano langsung memandang wajah Cilla. “Bohong lo.”

“Liat aja saat gue dateng ke acara lo nanti. Karena gue bakal dateng sama.. cowok gue.”

••

Next ga nih?

ValcanoWhere stories live. Discover now