“Ini sudah keterlaluan,” balas Nams.

Avines berdiri. “Jangan ribut. Kalian berdua nggak malu dilihatin murid lain, hah?”

“Tenang, Vin,” ucap Cilla. Setelah itu, dia kembali menatap Nams. “Namsender, tolong jangan ikut campur urusan gue sama Avines. Asal lo tahu, kehancuran Valcano hanya sebiji.” Cilla geleng-geleng kepala. “Gue lebih hancur.”

Nams tertegun. “Ini bukan lo, Cil.”

“Iya, ini memang bukan gue, Nams. Cilla yang dulu udah nggak ada.”

•••

Tok, Tok, Tok.

Valcano membuka pintu apartemennya. Hari ini dia tidak masuk sekolah, mengingat jika kondisinya yang masih pusing dengan bau alkohol yang menyerbak.

“Om Adit?”

“Bisa ikut saya?”

“Ke—kemana? Bukannya urusan kita sudah selesai?”

“Kali ini saya meminta tolong pada kamu.”

•••

Rumah Sakit Jiwa

Valcano membaca spanduk yang ditempel di plan tiang. Lelaki itu masuk, mengikuti langkah Adit yang lebar. Terdengar teriakan, tawa yang menggema, membuat Valcano bergidik.

Sampai akhirnya dia melihat Messa yang duduk sendiri dengan gaun yang dipakai saat ulang tahunnya kemarin. Nafas Valcano tercekat melihatnya, seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Messa..”

“Kalian menghancurkan putri saya,” ucap Adit dingin. Amarahnya dia tahan.

Messa duduk di sudut ruangan kecil, sesekali gadis itu bicara sendiri seakan disampingnya itu ada orang.

“Kenapa anda menyalahkan kami?” Valcano menatap tajam ke arah Adit. “Dari awal anda yang memaksakan semua ini, bukan? Kami—terlebih saya—terpaksa dengan keputusan yang anda buat.”

“Saya hanya ingin menuruti ucapan Messa.”

“Salah anda terlalu memanjakan putri kesayangan anda.”

Valcano kemudian berlalu pergi, dia malas berdebat dengan Adit. Kenapa harus dia yang disalahkan? Disini dia hanya korban.

Bahkan dia harus merelakan hubungannya berakhir dengan Cilla.

•••

Renata membuka pintu kamar Cilla, tampak gadis itu sedang tiduran sambil bermain handphone. Seragamnya masih belum diganti dengan baju biasa.

“Cia, ada temannya dibawah.”

“Siapa?” Tanya Cilla sambil beranjak dari tempatnya tiduran. “Perasaan tadi Avines sudah pulang.”

“Bukan Avines, kayaknya Mama pernah lihat tapi lupa siapa.”

Cilla mengangguk lalu keluar kamar, terkejut dia begitu melihat Valcano sudah duduk manis di ruanh tamu. Apa yang dia lakukan?

“Ngapain lo kesini?” Tanya Cilla. Gadis itu duduk di seberang tempat duduk lelaki itu.

“Cuma pengen ketemu.”

“Lah, nggak jelas deh,” gerutu Cilla. “Berani banget ke rumah gue.”

Valcano salah tingkah. “Dari pada ke club, mending gue kesini kan?”

“Kata Avines, kemarin malam lo ke club ya?”

“Hm, tuh anak ngapain cerita ke lo?”

“Biarin, suka-suka dia, kok lo ribet banget jadi cowok.”

Valcano bergumam tak jelas. “Lo sendiri biasanya juga ngeribetin.”

Cilla menggerutu karena penuturan Valcano. Lelaki itu tersenyum penuh kemenangan karena menang berargumen dengan Cilla.

“Keluar yuk.”

•••

“Tadi, bokapnya Messa ngajak gue ke rumah sakit jiwa biat jenguk si Messa.”

“Terus?” Cilla menyimak ucapan Valcano selanjutnya. Sejujurnya dia juga pernasaran dengan gosip yang beredar tentang kejiwaan Messa yang terganggu.

“Gue prihatin sih.. Kondisinya kacau banget. Anehnya bokap Messa malah nyalahin gue karena Messa jadi gila.” Valcano mendengus kesal. Lalu meminum es jeruk yang dia pesan.

Valcano dan Cilla sedang berada di warung pinggir jalan, itupun Cilla yang memutuskan. Valcano awalnya ragu untuk menerima, namun gadis yang bersamanya ini Cilla, jadi dia mau menerimanya.

“Lo nggak salah sih disini, lo juga korban dalam masalah ini.”

Valcano diam.

“Keadaan yang maksa lo juga kan buat nerima ini?”

Valcano mengangguk.

“Gue senang lo bisa ngertiin gue.”

Cilla tersenyum, manis sekali. Senyum yang selalu dirindukan oleh Valcano.

“Cantik banget,” kata Valcano tanpa sadar.

Cilla segera mengubah ekspresinya menjadi datar.

“Cilla, jadiin gue pacar kedua lo dong.”

•••

Next?

Kesan setelah membaca cerita ini apa?

Apa yang mau disampaikan ke..

•Valcano?

•Nams?

•Cilla?

•Avines?

•Om Adit?

[Yang gak vote, komen dan follow jadi anak tirinya Om Adit hehe]

ValcanoWhere stories live. Discover now