“Tenang, Cil.. seragamnya biar jadi urusan gue.”

“Makasih ya.. Kalian berdua baik banget..” lirih Cilla.

Jeane tersenyum dan King mengangguk sambil mengusap pundak Cilla. Jeane memutuskan untuk pergi dan berencana akan menghampiri kelas Cilla nanti saat jam istirahat.

“Ayo, gue antar ke kelas lo,” kata King. Bukan apa, dia hanya tidak ingin jika Cilla dilempari lagi.

Cilla tidak menjawab, memilih untuk melangkahkan kakinya ke kelasnya. Dia berjalan beriringan dengan King sampai akhirnya dia bertemu dengan Valcano dan Messa. Cilla terkejut, bagaimana jika nanti Valcano salah paham?

“Aih, mesranya..” Messa sengaja meng-kompori.

Tatapan Valcano begitu tajam ke arah mereka berdua, tidak ingin tersulut emosi, dia memutuskan untuk menyuruh Messa ke kelas lebih dahulu.

“Pergi, gue ada urusana sama nih cewek,” kata Valcano sambil menggendikan dagunya ke arah Cilla.

King tidak mau. “Gue mau antar Cilla ke kelasnya.”

“Biar gue yang anter!” tegas Valcano.

“Val—”

“Diam!”

Seketika Cilla diam karena takut. King memilih untuk pergi dan memberikan privasi antara Valcano dan juga Cilla.

“Bagus, bagus.. Ganjennya nggak ketulungan ya..”

“Val, King itu cuma nolongin aku!” kata Cilla dengan frustasi. “Kamu nggak tahu kalau aku baru aja di lempari telur dan tepung sama anak-anak di koridor. King datang dan nolong aku, dia juga kasih seragam ini ke aku. Sementara kamu saat aku butuh.. malah dengan perempuan lain.”

“Jangan bandingin gue sama King!” Telunjuk Valcano mengarah ke wajah Cilla. “Gue tau lo cemburu sama Messa, 'kan?”

Jelas, kenapa masih ditanya? Tentu saja Cilla kesal jika Valcano ada di dekat Messa.

“Jelas!”

“Apa yang buat lo cemburu, hah? Gue udah bilang kalau gue nggak ada hubungan apa-apa sama dia, kenapa lo masih aja cemburu? Cemburu lo itu nggak beralasan, Cil!”

“Bela dia terus! Bela!” Nafas Cilla memburu. “Messa! Messa! Dan Messa!”

Valcano mencengkram erat pergelangan tangan Cilla, membuat gadis itu meringis karena kesakitan. “Kontrol ucapan lo sebelum tangan gue ikut main, Cillanera.” Setelah itu, Valcano melepaskan tangan Cilla dengan kasar.

Cilla mengusap air matanya begitu saja, hatinya terasa sesak. Rasanya Cilla lelah dengan hubungan ini namun dia tidak bisa melepaskan Valcano begitu saja. Sesuatu membuat Cilla bergejolak, di hati dia merasa ingin bunuh diri namun otaknya melawan keras, sepertinya dia harus bertemu dengan Metta, sudah berhari-hari dia absen bertemu dengan Psikolog itu.

• • •

Metta melihat tangan Cilla sambil tersenyum, tidak ada goresan lagi di lengannya. Bagus, sudah ada perkembangan dari Cilla.

“Kemarin Nenek datang dan kembali mengeluarkan kata-kata kasar,” kata Cilla.

Metta mendengarkan cerita Cilla dengan seksama. Sungguh dia prihatin dengan hidup Cilla, bagaimana pun juga usia Cilla masih belum bisa menerima hal-hal yang dapat merusak mentalnya.

“Jangan merasa lelah untuk hidup, Tuhan itu adil kepada setiap makhluk yang dia ciptakan. Percayalah, sayang.. Ada kebahagiaan yang menantimu di balik pintu kesuraman yang kamu anggap ini.” Metta selalu memberikan perkataan singkat dan tidak menye-menye.

“Perkataan mereka men-trigger saya untuk melakukan bunuh diri.”

“Anggap ucapan mereka bagai angin, itu kata yang selalu diucapkan Ibu saya.”

Cilla menangis, dia berdiri lalu memeluk Metta. “Apa salah saya sampi satu keluarga membenci saya? Dosa apa yang telah saya perbuat sampai hidup saya begitu menyedihkan seperti ini? Saya tidak kuat, sekolah dan rumah bagai neraka.”

Tangis pilu menyahat hati itu membuat Metta merasa iba dengan Cilla. Begitu terpukul rasanya. Rasa yang ada pada Cilla dapat dirasakan oleh Metta ketika mendengar isakan tangisnya.

“Tidak, kamu salah. Kamu kuat. Buktinya kamu masih bertahan kan? Kamu tidak menyerahkan? Ada alasan dibalik kuatnya kamu, sayang.” Metta menangkup pipi Cilla. “Ada alasan kamu bertahan sampai sini, saya yakin itu.”

Benar.

Cilla bertahan hanya untuk Valcano.

• •

Valcanoजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें