3. perdebatan kecil

Magsimula sa umpisa
                                    

Gilang semakin terkikik geli melihat Alana yang sudah memasang wajah super bete nya karena dirinya. Perempuan itu terlihat sangat menggemaskan. Gilang sudah tidak bisa berkata lagi bagaimana ia harus bersyukur karena Allah telah mendatangkan Alana untuknya. Walaupun pertama kali bertemu sangat tidak memungkinkan.

Gilang membawa Alana kedalam pelukannya yang hangat. Kemudian, ia sedikit memundurkan kepala Alana, agar Gilang bisa menciumi puncak kepala Alana dengan lembut.

"Kamu udah, sholat?" tanya Gilang yang membuat Alana menggeleng.

Dengan spontan saja, Gilang langsung berdiri sembari menggendong Alana. Hal itu tentu saja membuat Alana terpekik kaget. Spontanitas, Alana langsung memukul punggung lebar Gilang.

Gilang hanya meringis dan membawa Alana berjalan menuju lantai atas untuk melaksanakan sholat ashar.

"Tumben nggak telat," entah itu sebuah pertanyaan atau pernyataan dari Alana untuk Gilang.

"Iya, aku sengaja pulang cepet. Supaya istriku nggak marah-marah kalau aku pulang larut malam," kata Gilang sembari tersenyum. Gilang cukup tahu jika Alana sekarang mengulas senyumnya, walaupun tidak terlihat oleh Gilang.

Alana hanya memukul punggung Gilang saja sebagai sangkalan. Karena Alana sebenarnya malas banyak bicara.

Mereka berdua masuk kedalam kamar. Gilang menidurkan Alana di ranjang sembari berkata, "aku ambil air wudhu dulu ya. Setelah itu kamu dan kita sholat bareng-bareng ya," kata Gilang lagi dengan senyuman manisnya.

Sebelum benar-benar masuk kedalam kamar mandi, Gilang menghentikan langkahnya. Seperti ada sesuatu yang tertinggal. Dan ternyata benar. Ia lupa mencium kening Alana dan puncak kepala perempuan itu.

Wajah Alana bak kepiting rebus karena perlakuan manis itu. Namun, alih-alih menampakkan ekspresi malu itu, Alana memasang wajah judesnya. Karena gengsinya yang lebih tinggi. Bagi seorang Alana, rasa gengsi jika dalam takaran yang tepat bisa memberikan banyak manfaat untuk diri sendiri. Selain bisa meningkatkan kepercayaan diri, gengsi juga bisa membangun kekuatan serta identitas tertentu dalam diri pribadi.

Alana benar-benar menjaga harga dirinya didepan orang-orang. Apalagi orang-orang yang toxic untuknya. Alana benar-benar menjauhi orang seperti itu. Alana juga tidak mau menyiksa dirinya sendiri karena hadirnya orang-orang yang membuat hidupnya menjadi rusuh. Simple saja, orang lain baik pada dirinya, Alana akan lebih baik dari orang itu. Dan apabila ada yang menyenggolnya--dalam artian jahat--maka Alana akan lebih jahat dari orang itu.

Alana selalu menerapkan prinsip, apa yang kamu tanam, dan itulah yang akan kamu panen. Seperti menanam hal baik, dan kamu akan memanen kebaikan atas sikapmu.

"Sayang," panggil Gilang dengan lembut.

Ia menarik wajah Alana agar semakin dekat dengannya lalu ia mencium kening Alana singkat.

"Apa? Katanya mau ambil air wudhu. Nanti ketinggalan sholatnya," kata Alana sembari mendorong dada Gilang. Gilang meringis lalu ia masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan badannya karena lengket keringat seharian bekerja.

Sekitar lima belas menit, akhirnya Gilang keluar dengan handuk yang menutupi bagian bawahnya.

"Sudah, gantian kamu wudhu gih," kata Gilang sembari berjalan kearah lemari. Namun tidak sengaja, handuknya yang melilit pinggangnya telah terjatuh diatas lantai.

"Yah keliatan," cicit Alana yang melihat Gilang hanya diam saja tanpa mengambil handuknya yang jatuh.

"Lah, kok jatuh, sih? Keliatan deh," begitu juga kata Gilang dan dengan santainya dan tanpa rasa malu, Gilang kembali mengambil handuknya.

Gilang meringis setelah itu.

"Nggak papa keliatan. Kan milik kamu juga sayang," kata Gilang tanpa dosa.

Alana hanya menatap datar Gilang yang memasang wajah ta dinpa dosa. Ingin sekali rasanya mencekik leher Gilang saat ini juga. Bagaimana mungkin Gilang sesantai itu. Ya walaupun mereka sudah sah, tapi kan. Haisss!

"Sayang kaget, ya?"

***

Gilang memijat kaki Alana disela-sela rasa lelah Gilang sepulang kerja. Sedangkan Alana, perempuan itu tentu saja menikmati pijatan Gilang.

Tak lama, terdengar suara dering telpon dari ponsel Gilang telah terdengar ditelinga mereka.

"Bentar Yang," kata Gilang sembari berdiri untuk mengambil ponselnya yang ia letakkan diatas nakas. Ia melihat ke benda pipih itu, satu panggilan dari bos di kantornya, lalu Gilang mengangkat telepon tersebut. Gilang sedikit menjauh.

Alana yang melihat setiap gerakan Gilang mengangkat telepon tersebut, sudah mengomel didalam hatinya.

Cukup lama Gilang berbicara dengan bosnya, hingga ia kembali mendapati Alana dengan memasang wajah cemberutnya. Cukup mengerti apa arti dari wajah Alana saat ini, Gilang langsung meringis sembari berkata, "boss nelpon. Besok suruh berangkat agak pagi, ada berkas yang harus aku tandatangani," kata Gilang yang tidak mampu merubah ekspresi Alana.

"Jangan bete dong, Sayang," begitu kata Gilang sembari menarik garis bibir Alana agar tersenyum. Namun, perempuan itu malah memberontak dan menatap Gilang semakin kesal.

"Kerjaan terus diprioritaskan," akhirnya Alana angkat bicara.

"Ya Allah enggak Sayang," elak Gilang, "aku lebih prioritaskan kamu ketimbang kerjaan aku sendiri," lanjutnya sembari memegang kedua tangan Alana, namun perempuan itu menolak mentah-mentah.

"Buktinya, kamu lebih mementingkan kerjaan. Pulang telat terus. Kamu nggak tulus ya sayang sama, aku?"

Gilang mengusap wajahnya, "kenapa jadi bahas persoalan aku sayang enggak ke, kamu?" Astaghfirullah Alana," erang Gilang.

"Buktinya," pernyataan dari Alana ini telah membuat Gilang kebingungan dengan cara pikir Alana.

"Kalau aku nggak tulus, mungkin kita nggak sampai di sini," kata Gilang menatap kedua manik mata Alana, "kamu lagi datang tamu bulanan, ya? Kenapa ngomongnya jadi ngelantur kayak, gini?"

Alana hanya diam saja.

"Kamu tau rasa tulus itu?" tanya Gilang.

Alana hanya menggeleng.

"Rasa tulus itu, aku yang siangnya sibuk kerja terus malamnya waktu buat kamu. Dan, kalau kamu menyuruhku untuk istirahat, aku bakalan marah karena aku baru ada waktu untuk kamu. Dan satu hal yang harus kamu tau, obat lelahku cuma, kamu," kata Gilang begitu tegas yang mampu membuat Alan terharu.

"Dan kamu tau seperti apa lagi rasa tulus, itu?" tanya Gilang lagi.

Alana menggeleng.

"Ketika kita merasa sakit, selalu ada banyak maaf untuk hal itu. Ketika kita marah, selalu ada banyak rasa sabar untuk itu. Dan bahkan, ketika kamu pergi, perasaanku akan tetap sama tidak berubah," kata Gilang sembari mengelus puncak kepala Alana dengan lembut.

CINTA PALING RUMIT ( Update setiap Hari)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon