Entah memang betul sedang membanyol atau cerminan ketidakpahaman, kalimat itu sukses membuat Naufal kembali tertawa. "Betul sih, mana mungkin mereka lempeng begitu saja saat kita korek kejahatannya di depan mata. Pasti ada perlawanan, pasti. Malah, aku harap memang akan ada perlawanan, dan ... kalau memang ada perkelahian, satu tugas kita, kawan: memastikan kalau mereka yang akan terluka—bukan sebaliknya. Masuk penjara pun percuma kalau mereka punya tenaga bak Kapten Amerika. Kalau Grace saja bisa mengangkat meja jati ratusan kilogram, apalagi kalau pria dewasa yang meminum ramuan! Jeruji besi mungkin bisa dibengkokkan dengan tangan kosong! Ah, kanan, Dyth! Belok kanan!"

Menurut saja Adyth meskipun sebetulnya sudah kagok jalan lurus. Sebelah kanan itu—terminal kota. Parkir mereka di bagian dalam, menitipkan motor butut Naufal ke petugas jaga.

"Kita naik bus?" tanya Adyth saat mengekor Naufal menuju loket.

Bukannya langsung membeli tiket, Naufal malah berhenti menghadap seorang wanita tua penjual makanan ringan. "Dua jam perjalanan menggunakan Vespa hanya akan menyiksa kita," mengulur tangannya menyerahkan selembar uang seratus ribu. "Arem-arem empat, gorengan sepuluh ribu, Bu. Oh, dan Aqua botolnya tiga. Ini—kembaliannya ambil saja," satu bungkus plastik mereka bawa, sudah macam tamasya ke kebun binatang saja gayanya. "Kau mengerti, Dyth? Seperti yang kubilang tadi: pastikan kalau mereka yang akan terluka, bukan sebaliknya. Lebih baik kita makan dan tidur sepanjang perjalanan—menyiapkan tenaga. Mau bagaimana kau berkelahi kalau badanmu sudah pegal duluan karena naik Vespa?"

✵✵✵

"Sudahkah aku katakan kalau hotel milikmu ini benar-benar ide cemerlang? Easterham kota yang menjemukan, mereka butuh tempat tamasya memang. Menginap di hotel budget dengan suasana macam Lembang, wajar jika tempat ini ramai di akhir pekan."

"Terima kasih pujiannya, Dokter. Pintar mencari peluang merupakan satu dari sekian skill wajib seorang pebisnis," ujar seorang pria lagi yang kini sedang mengepulkan asap dari cerutu mahal miliknya. Nikmat betul berpadu kopi hitam restoran hotel puncak bukit, naik tangga satu meter dari taman luas yang menjadi nilai jual utama hotel tersebut.

"Kemampuan ini juga yang mengantarkan aku pada ide jeniusmu, Dokter," kembali dia bicara, sembari mengeluarkan sebuah tabung suntik kecil dari dalam saku celana untuk diletakkan di atas meja. "Benda ini—lima tabung kecil saja kau berhasil jual, kau sudah bisa bangun hotel pribadi milikmu sendiri!"

"Sayangnya aku tidak memiliki jiwa bisnis seperti kau, Ram. Tujuanku bukan memutar uang—bukan. Kebebasan finansial yang jadi tujuanku. Pindah keluar negeri, tinggal di Hawaii atau Florida, menikmati keindahan dunia dengan penuh suka cita. Apalagi kalau—"

"Oh, benar-benar rencana perjalanan yang menyenangkan, Dokter!"

Serentak dua pria itu menoleh ke arah bangku belakang mereka. Seorang remaja laki-laki yang bicara, tersenyum lebar dari bangku restoran hotel seolah kenalan lama. Satu lagi rekannya sedang duduk menyantap lasagna. Baik Ramli maupun Frans, keduanya tidak ada yang kenal. Mengkerut mereka berdua karena jelas pembicaraan tadi seharusnya menjadi rahasia.

"Bagaimana kalau aku usulkan trip pensiun yang lebih baik, Dokter?" kembali remaja itu berkata setelah menyeruput setengah es jeruk di gelasnya. "Tidak perlu jauh-jauh, di kota ini juga ada tempat yang cocok untuk kalian: Penjara Kota Easterham. Tidak usah pusing dengan kebebasan finansial, makan kau akan ditanggung bahkan disediakan ranjang! Oh, malah kalau beruntung kau akan langsung dihukum mati. Mantap, bukan? Trip ke akhirat—siapa lagi yang bisa kasih kalau bukan polisi?"

Sebetulnya sambil mengunyah Adyth sudah siaga kalau-kalau ada di antara dua pelaku yang mendadak menyerang. Namun, respon yang keluar hanya tertawa lebar seolah sang kapten adalah badut ulang tahun yang baru selesai melemparkan lelucon.

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now