Seorang satpam yang sedang berjaga menyambut mereka begitu sampai lantai lima. Kaget keduanya, dipikir lantai lima itu sama seperti lantai lainnya—penuh hilir mudik pasien dan perawat yang berjaga. Ternyata tidak, mereka sampai di kantin besar tempat orang-orang ramai sedang sarapan. Melangkah dulu ke bagian tengah lantai tempat yang dijadikan target—kosong. Hanya kursi dan meja putih panjang tanpa mayat dan benda mencurigakan.

"Kita periksa sisi lain dulu, baru turun ke lantai empat."

"Ya, kita bisa mulai dengan periksa booth takoyaki di depan mata ini. Bau mentega cair dan potongan gurita setengah matang ini—aduh!" Aji menggosok bagian kepalanya yang dipukul Dj.

"Cari dulu mayatnya! Kalau sudah ketemu, nanti kau ajaklah sekalian mayat-mayat itu mukbang takoyaki."

Mau tak mau Aji bergerak kembali mengekor Dj dari belakang. Tidak boleh jadi beban, begitu misi Dj saat ini. Meskipun kemudian dia kembali berhenti, mengumpat keras saat melihat musala indah sedang ramai orang-orang salat Dhuha. Jelas dongkol dia—semalam mau salat isya malah diarahkan orang ke musala dekat kamar mayat. Gelap dan menyeramkan, padahal ada yang terang dan indah di lantai lima.

Yakin sudah mereka setelah lima belas menit keliling. Apa yang mereka cari tidak ada di lantai ini.

"Tekan nomor lantainya," perintah Dj pada Aji setelah mereka masuk kembali ke dalam lift.

"Sudah kutekan padahal tadi," Aji kembali menekan angka 4. Berselang lama, pintunya tak juga menutup.

Dilirik Dj, tombol angka 4 itu tidak menyala. "Ah kau ini! Menekan tombol pun tak becus!" Tidak ditekan, Dj malah menghantam tombol itu dengan tinjuan. Menyala sebentar angka 4 lalu redup kembali.

"Ada apa, Nak?" tanya satpam yang berjaga.

"Anu—sepertinya liftnya rusak."

"Kami mau ke lantai empat, Pak!"

"Oh, kalian mau menjenguk pasien VIP ya?" si satpam langsung asal menyimpulkan. "Sudah sebulan ini lantai empat dikosongkan untuk renovasi. Kamar VIP sekarang pindah ke lantai tiga."

Dua remaja ini langsung turun ke lantai tiga dengan senyum merekah. Oh, jelas mencurigakan sekali lantai empat ini. Kalau sesuai dengan apa yang dibilang Dolphy, kemungkinan besar lantai empat lah tempat yang sedang mereka cari.

Mereka berdua langsung tahu ke mana harus melangkah begitu sampai di lantai tiga: Tangga Darurat. Sedikit menghela nafas keduanya. Mereka punya pengalaman buruk dengan tangga darurat. Pengalaman itu sampai mendorong Aji membaca banyak doa sebelum masuk, salah satunya agar mental ia dikuatkan sebelum menemukan hal yang mengerikan.

Naik setengah berlari, tapi membuka pintu lantai empat dengan penuh hati-hati. Lampunya temaram, jauh betul dibandingkan lampu lantai tiga yang terang penuh cahaya. Sepi—konfirmasi dari telinga Aji yang luar biasa: di lantai itu hanya mereka berdua yang manusia.

Pintu pertama mereka coba buka—kosong, hanya ada kertas lusuh dan dinding yang mulai mengelupas. Kembali Aji dan Dj menatap ke koridor panjang seolah tak berujung di depan mereka. Berada di rumah sakit tua tanpa manusia, perlahan mulai gemetar bulu tengkuk mereka. Langkah pun tak lagi tegas, makin asal terkesan enggan. Tiap membuka pintu doa mereka cuma satu: Tuhan tolong kuatkan aku kalau pun nanti benar ketemu.

Namun, luntur juga keberanian hati mereka begitu sampai di ujung koridor. Berhenti saja mereka, berdiri menghadap belokan tanpa berani langsung melangkah. Ini ... beda bentuk. Bukan temaram lagi—mereka sekarang sedang memandang kegelapan. Gelap pekat, hitam saja yang masuk mata. Mata tajam Aji pun sama tidak berguna, pertanda kalau memang di depan mereka sama sekali tidak ada sumber cahaya.

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now