Perlahan, Ken berbuat lebih berani. Merangkul Naya lebih erat sampai lebih pantas disebut pelukan ketimbang rangkulan. Tubuh Naya yang menguarkan kehangatan membuat tubuh Ken terasa tersengat.

Jantung mereka saling pacu untuk alasan yang berbeda. Yang satu karena gairah, namun yang lainnya karena kalut.

Ken yang menghirup aroma tubuh dari tengkuk Naya membuat bulu roma Naya berdiri. Tentu saja bukan karena terangsang, kendati begitu Ken tersenyum karena menganggap demikian. Semalam, ia bermain tanpa pemanasan. Bukan hanya Naya seorang yang merasakan perih.  Walaupun bagi Ken, lebih banyak tersisipkan kenikmatan daripada perih itu sendiri.

Ken pun menarik bahu dan membalik tubuh gadis itu sehingga mereka saling berhadapan. Dengan cepat Naya mengalihkan pandangannya, tak sudi menatap wajah Ken. Namun dengan cepat pula Ken mengangkat wajah Naya, memaksakan pandangan mereka beradu.
"Bagaimana jika kita melakukannya lagi? kita toh masih berada disini.." 
Seperti meminta izin, tetapi tidak, karena Ken langsung mendaratkan bibirnya di bibir Naya. Ken menikmatinya, tidak ingin tergesa-gesa seperti tadi malam. Ia berharap bukan hanya dirinya yang hanyut dalam pusaran kenikmatan kali ini.

Naya tak bereaksi. Tapi setidaknya ia tak melawan seperti semalam. Ken menganggap hal itu adalah pertanda baik. Bukankah itu sebuah kemajuan?

Saat itu Ken memang tidak sadar bahwa itu bukan kemajuan sama sekali. Hanya orang hidup yang melawan ketika dipaksakan kehendaknya, sementara Naya sudah mati—hanya saja masih bernafas.

Setelah berlama-lama bermain di bibir, tangan Ken mulai menggerayangi tubuh.  Menjepit puting Naya hingga membuat gadis itu mengaduh. Kesempatan itu digunakan untuk menginvasi mulut Naya, menyesapi  lidahnya yang belum juga merespond.

Tak sabar Ken menyibak selimut mereka. Pandangannya sempat  berhenti pada bercak kemerahan diatas seprei. Laki-laki itu tersenyum terkenang penetrasi pertamanya terhadap Naya kemarin.  Lalu kembali meneruskan aksinya. Ia menyebarkan tanda kemerahan di sekujur tubuh Naya. Merambat terus ke bawah. Sampai tiba di daerah yang Ken nantikan.

*SKIP SCENE*

Menyebalkan. Ken merasa tak perkasa di saat melakukannya dengan Naya. Padahal selama ini, lelaki itu selalu bermain hebat dan merasa unggul ketika melakukannya dengan gadis-gadis lain. Apakah kebetulan dia memang sudah lemah dan tak sehebat dulu? Tapi 'dulu' itu bahkan hanya berselang beberapa hari dari hari ini. Saat itu pun dia masih menjadi pemain hebat. Atau mungkin kah karena ia mengonsumi makanan yang salah belakangan ini? Ah sial! Kalau benar karena makanan, kenapa harus saat ini!

Ken mengambil waktu yang singkat untuk mengisi daya sebelum kembali menerjang Naya. Ia seolah tak mau rugi, mengingat tekadnya hanya akan menggunakan Naya untuk pertama dan terakhir di tempat ini. Dan semua ini punya tenggat waktu. 

Dua puluh jam sudah berlalu semenjak mereka tiba di motel. Sebentar lagi jam dua belas—waktu  untuk check out, sebagaimana kebijakan penginapan pada umumnya. Rasanya Ken ingin memperpanjang masa singgahnya, padahal kemarin ia bahkan tak berniat sampai menginap. 

Ia meninggalkan Naya ke kamar kecil untuk bersiap diri sekejap, lalu kembali hanya untuk menemukan Naya yang sudah terlelap. Setelah dipergunakan berkali-kali olehnya, akhirnya tubuh gadis itu menyerah juga karena lelah.

Satu-persatu pakaian yang tak lagi berbentuk utuh dijumput dari lantai. Pakaian milik Naya tentunya. Ken memastikan sampai ke bagian kolong ranjang untuk  memastikan tidak ada yang tertinggal. Ia tak mau meninggalkan jejak keganasannya di tempat itu.

Setelah yakin beres. Ia langsung mendekati Naya yang tertidur. Ada kegusaran yang terlukis di wajah pulas gadis itu yang berusaha Ken pungkiri. Memangnya siapa yang bisa tenang jika menjadi Naya?  Sentuhan Ken yang berusaha membopongnya keluar dengan gerakan yang sudah begitu berhati-hati saja langsung membuatnya terjaga.

KANAYAWhere stories live. Discover now