47. Blurt Out

65.1K 7.6K 1.7K
                                    

Aku meneguk kopi sambil menatap langit yang terlihat sangat cantik sore ini. Jarang-jarang bisa melihat langit sore berwarna oranye sempurna dan cerah seperti ini. Selama beberapa saat, aku mengizinkan diriku untuk tidak memikirkan apa pun dan menikmati keindahan pemandangan di hadapanku.

Bunyi pintu ruangan yang ditutup mengagetkanku. Namun, aku bergeming. Tidak perlu berbalik untuk mengetahui siapa yang menemuiku sore ini.

Selama seminggu terakhir, aku menjaga jarak dari Ruly. Dia berusaha untuk bersikap seperti biasa, tapi aku tidak bisa. Kejadian di Palembang semakin menyadarkanku bahwa aku tidak bisa terus menerus berada di dekat Ruly. Hatiku tidak sekuat itu.

Keinginan untuk pergi jadi semakin membuncah. Sekarang aku yakin kalau ucapanku malam itu di pesawat, bukan hanya sekadar ancaman. Aku benar-benar menginginkannya.

Kepergian itu bukan hanya untuk mengejar apa yang selama ini aku inginkan. Namun, juga untuk menyelamatkan hatiku agar tidak jatuh terlalu dalam. Meski sepertinya sudah terlambat, karena ketika melihat Ruly yang berdiri di sampingku, ikut menatap langit bersamaku, aku merasakan semua hatiku ikut hancur bersama pupusnya harapanku untuk bersamanya.

"Sudah lama kita enggak ngobrol."

Aku meneguk kopi, sengaja menghindar dari Ruly.

Ruly menatapku, tapi tatapannya teralihkan oleh layar laptopku. Aku tidak berniat menutupnya, biarkan saja Ruly tahu kalau aku serius.

"LBH Melati?"

Perlahan, aku mengangguk. Aku tahu, tidak etis mencari pekerjaan lain di saat aku masih terikat kontrak dengan firma hukum ini. Namun, aku juga ingin menunjukkan kepada Ruly bahwa aku serius.

Dia tidak bisa menahanku. Lagipula, dia tidak punya hak untuk menahanku.

Silakan jika dia ingin berkubang terus menerus dengan perasaan bersalahnya, tapi dia tidak bisa melampiarkannya kepadaku. Aku bukan Aghnita. Mungkin nanti, setelah aku tidak lagi berada di sini, dia akan menemukan perempuan lain yang bisa diperlakukan sebagai pengganti Aghnita.

"Gue enggak akan menyetujui pengunduran diri lo."

"Bukan lo yang mutusin, tapi Pak Nizar."

"Gue bisa membujuknya."

Refleks, aku tertawa pelan. "Silakan. Yang pasti, enggak ada yang bisa menahan gue di sini."

"Bagaimana kalau gue pengin menahan lo?"

Hatiku mencelos mendengar pertanyaan itu, tapi aku buru-buru menggeleng.

"Gue bukan objek yang bisa menjadi pelampiasan rasa bersalah lo, Ruly. You have to let me go," balasku pelan.

Aku beranjak kembali ke mejaku. Di luar sana, langit sudah mulai menggelap. Tidak ada lagi yang harus kukerjakan hari ini, jadi kuputuskan untuk pulang.

Ruly beranjak mendekatiku. Dia berhenti di ujung meja, tapi aku berusaha mengabaikannya.

"Besok lo ikut gue meeting dengan perwakilan SMP Pelita Bangsa. Kasus molested salah satu guru di sana."

Aku menghentikan kesibukanku beres-beres. Jadi, ini cara Ruly menahanku? Dengan memberikan kasus yang dia tahu tidak mungkin kutolak.

Ada bagian hatiku yang semakin yakin akan keputusanku untuk pergi. Ruly memang banyak membantuku, tapi lama-lama aku merasa terlalu terikat padanya. Aku tidak ingin terlalu bergantung pada Ruly.

Aku tidak memberikan jawaban, sampai akhirnya Ruly menyerah dan keluar dari ruanganku.

Tanganku yang sedang membereskan berkas di atas meja mendadak berhenti, ketika mataku tidak bisa lepas dari punggung Ruly yang menjauh. Hingga akhirnya dia menghilang saat keluar dari pintu.

Partner with BenefitWhere stories live. Discover now