30. Longest Night

76.5K 5.9K 479
                                    

Aku sedang menunggu lift ketika ponselku berbunyi. Cukup sulit untuk mengeluarkan ponsel dari dalam tas mengingat satu tanganku mendekap laptop, dan tangan lainnya memegang cangkir kopi yang kubeli dari coffee shop kecil di depan apartemen.

Nama Ruly berkelip di layar ponselku begitu benda pipih itu berhasil kukeluarkan dari dalam tas. Aku mengepitnya di antara telinga dan pundak.

"Ya, Rul?"

"Gue di apartemen lo."

"Hah?" Hampir saja ponsel itu meluncur turun karena keterkejutan yang kurasakan barusan.

"Sini, turun, jemput gue." Bukannya menjawab, Ruly malah menyuruhku menjemputnya.

Tindakan makhluk antik satu itu memang selalu tidak terduga.

Tepat ketika pintu lift terbuka, aku malah berbalik arah dan kembali ke lobi. Benar saja, Ruly tengah berdiri santai di sana sambil menyesap kopi yang sama denganku.

"Lo ngapain di sini?" buruku.

"Konferensi pers Pandu malam ini. Jadi kita bisa ngikutinnya langsung dan membahasnya. Lagian, besok kita harus berangkat pagi jadi gue rasa lebih efektif kalau gue menginap di sini," bebernya.

Aku seperti tersambar petir. Satu-satunya yang bisa kulakukan saat ini hanyalah melongo.

"Tadinya gue mau ngajak lo pulang bareng, tapi telepon gue dicuekin. Jadi, gue nyusul ke sini," sambungnya.

"Memangnya gue kasih izin lo buat nginap?"

Dengan wajah polos tanpa rasa bersalah, Ruly menganggup. "You're my partner. Lagian, lo pernah menginap di tempat gue."

Aku memutar bola mata. "Begitu konferensi pers itu selesai, lo pulang," semburku.

Ruly terkekeh. Aku mendahuluinya, dan dari sudut mata aku melihatnya mengikutiku.

"We'll see. Apa lo sanggup mengusir gue?"

"Of course I can," jawabku lantang. Tentu saja aku akan mengusirnya. Tidak pernah ada niatan untuk mengajaknya menginap di apartemenku, jadi silakan hal itu hanya menjadi harapannya saja.

Ruly masih saja berkicau sesumbar kalau aku tidak akan mengusirnya, membuat lift itu terasa semakin sesak.

Hal pertama yang kulakukan begitu pintu apartemenku terbuka yaitu menyisir setiap sudut untuk mencari barang yang terletak tidak pada tempatnya. Apartemenku memang sangat jauh dari kata rapi, tapi masih bisa diterima. Namun seringkali aku terlal abai karena tinggal sendiri, sehingga barang pribadiku kadang terletak di tempat yang tidak layak.

Aku meletakkan laptop dan tas, beserta gelas kopi, di atas meja dan kembali menyisir ruang tamu itu. Apartemenku tidak begitu luas, dengan ruang tamu kecil yang langsung menyatu dengan ruang makan dan dapur, serta satu kamar yang cukup untuk ditinggali seorang diri.

"Nice bra." Ruly mengangkat sebuah bra hitam berenda dari balik tangan sofa.

Aku melompat ke arahnya dan merebut bra itu. Mengapa harus dia duluan yang menemukannya?

Tidak menghiraukan tawa Ruly, aku kembali menyisir apartemenku dan mengambil barang pribadiku yang berserakan, sebelum melemparnya ke dalam kamar.

Ruly menempati sofa di ruangan itu tanpa kusuruh. Dia juga langsung menyalakan televisi. Lagaknya sudah seperti yang punya apartemen ini saja.

"Feels like home, eh?" sindirku.

Ruly tertawa kecil. "Apartemen lo nyaman juga," ujarnya. Ruly membuka jas yang dipakainya dan menyampirkannya ke punggung kursi. Dia juga membuka dasinya dan menyimpannya ke dalam saku jas. Selanjutnya, Ruly membuka beberapa kancing kemejanya. Dia bernapas lega setelahnya, seakan baru saja terlepas dari siksaan berat.

Partner with BenefitWhere stories live. Discover now