34. Crazy About You

56.7K 5.9K 156
                                    

Pesta ini berjalan lebih lama dibanding dugaanku. Kakiku sudah meronta minta diistirahatkan. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menunggu pesta ini usai. Semua rekan kerjaku masih di sini, mereka pasti akan menemukan bahan sindiran tambahan jika aku lebih dulu meninggalkan pesta.

"Mau balik?"

Aku mendongak untuk menatap Ruly yang berdiri menjulang di depanku. Aku beruntung menemukan kursi kosong di salah satu meja yang tadinya diisi oleh tamu berusia lanjut.

"Penginnya, tapi gue enggak enak balik duluan."

"Lo enggak ada kewajiban buat di sini sampai selesai. Pesta bokap gue pasti selesai lewat tengah malam."

Refleks aku menghela napas panjang.

Ruly mengulurkan tangannya. "I'll drive you home."

Alih-alih menyambut uluran tangan itu, aku malah menepisnya sambil tertawa ringan. "Becanda? Ini pesta bokap lo, Rul."

Ruly meraih tanganku dan menariknya, sehingga aku terpaksa berdiri. Dia membawaku menjauh dari lokasi pesta, sekalipun tidak menghiraukan penolakanku.

"Gue enggak enak, Rul. Itu yang lain masih pada di sini." Aku menunjuk ke arah rekan kerjaku, dan tanpa sengaja bersitatap dengan Lola. Dia masih saja menatapku dengan tatapan ingin membunuh.

Ruly tidak mengindahkan penolakanku. Dia bahkan tidak menghiraukanku yang ingin berpamitan kepada orangtuanya.

"Lo enggak mau ikut-ikutan mereka yang selalu cari muka sama bokap gue, kan? Percuma, bokap gue enggak akan terpengaruh." Ruly terkekeh.

"By the way, lo cerita apa aja sama bokap lo soal gue? He praised me." Aku tertawa pelan.

"Apa adanya, jangan harap gue bakalan cerita yang berlebihan." Ruly terkekeh. Dia membukakan pintu penumpang dan memintaku masuk.

"Ini mobil gue. Kenapa gue yang duduk di sisi ini?"

"I said, I'll drive you home."

Aku bersedekap dan menatapnya dengan mata memicing. "Gue capek. Jangan minta macam-macam malam ini," tegurku, yang disambut Ruly dengan tawa kecil.

Ketika Ruly mulai menjalankan mobilku meninggalkan kediaman orangtuanya, aku pun menanggalkan sepatu yang sangat menyiksa itu. Sepanjang jalan, aku pun memijat kaki sekadar berusaha menghilangkan rasa letih.

Di perjalanan, Ruly hanya diam. Dia beralasan butuh konsentrasi lebih, mengingat jalanan yang gelap menjelang tengah malam seperti ini. Diam-diam, aku meliriknya. Semenjak bertemu Pak Helmy, Ruly bersikap aneh. Dia jadi lebih tegang dan sering diam. Aku masih terjebak di tengah dua keluarga itu, meladeni pertanyaan basa basi ibu Ruly, sementara Ruly hanya menyimak dengan wajah keras. Ekspresinya menunjukkan rasa tidak nyaman. Mungkin dia memang merasa tidak nyaman, dan mengantarku pulang hanya jadi alasan saja karena dia ingin segera kabur dari pesta itu.

Tindakannya hanya menambah rasa ingin tahu di dalam hatiku. Apa yang sebenarnya terjadi pada Aghnita?

"Bisa jalan sendiri apa perlu gue gendong?" tanya Ruly begitu selesai memarkir mobilku sesampainya di apartemen. Dia tersenyum lebar, tapi terlihat dipaksakan.

Aku memukul lengannya dengan clutch, berusaha memecah suasana yang masih canggung itu. "Memangnya kuat gendong gue?"

Ruly hanya mendecakkan lidah dan mendahuluiku turun dari mobil. Mataku tidak lepas dari mengawasinya saat menyusulnya yang mendahuluiku menuju lift. Dia sangat pandai bersandiwara karena jelas ada rahasia besar yang disimpannya, tapi tidak pernah diperlihatkannya. Malah sengaja ditutupi dengan sikapnya yang tenang dan kadang menyebalkan itu.

Partner with BenefitDonde viven las historias. Descúbrelo ahora