Prolog: The Decision

101K 6.7K 206
                                    

When 'I love you' turns into 'I hate you'.

Aku mengangkat wajah, berusaha tampak tegar untuk menyembunyikan isi hatiku yang sebenarnya.

No more tears. I'm done crying every night. I'm done trying to get this marriage back into what it is supposed to be. I'm done with this man.

"Puas sekarang?"

You can do it, Tyra!

Aku menoleh ke sosok yang kini terasa sangat berjarak itu. Tidak jauh di hadapanku, David menatapku dengan wajah memerah menahan emosi. Beberapa jam yang lalu dia tidak bisa menahan diri dan mengamuk di tengah ruang sidang ini. Kata-katanya masih terngiang dengan jelas di benakku, seakan dia masih meneriakkan hal yang sama saat ini.

Aku gagal sebagai seorang istri.

"No," jawabku.

"This is what you want, right?"

Aku menggeleng lemah. Tidak ada seorang pun yang ingin pernikahannya gagal. Termasuk aku. Selama ini aku sering mewakili pasangan yang sudah berusaha mempertahankan pernikahannya tapi terpaksa gagal di depan ketuk palu hakim, tapi sekarang justru akulah yang mengalami hal tersebut.

Tiga tahun menjalani biduk rumah tangga dengan David, sekalipun aku tidak pernah menyangka hakim akan mengetuk palu dan memutuskan pernikahanku dan David berakhir hari ini.

"Do you know what I want?" tanyaku dengan suara serak. "I want us to fight. I want us to keep our promise. But you never do that."

David mendengus, sebelum kembali menatapku. Matanya masih tampak nyalang, penuh dengan kebencian.

"Stop pointing at me. Kamu yang menggugatku, ingat?"

Aku memejamkan mata, kembali teringat pergumulan yang kurasakan hingga akhirnya aku mengambil keputusan untuk menggugat cerai David. Namun, bukan berarti ini semua salahku. David sedikitpun tidak pernah berusaha mempertahankan pernikahan ini.

"We're done, David. I'm sure this is the best for us." Aku mengangkat kedua tangan, menyerah di hadapan David.

"Good luck with your life." David berkata tajam sebelum meninggalkanku di ruang sidang ini sendirian, dengan hatiku yang hancur berantakan.

**

Aku bertemu David saat masuk SMA. Dia idola satu sekolah, si ketua OSIS yang juga pemegang rekor juara umum setiap semester. Sebagai anak baru, gosip akan keagungan seorang Mahendra David sampai ke telingaku. Aku tidak bisa lupa ketika David memintaku menjadi pacarnya.

He was my first love.

He was my first serious boyfriend.

He was my husband.

Hubunganku dan David memang tidak selalu berjalan mulus. Kami sempat putus ketika David lulus SMA dan mulai sibuk dengan statusnya sebagai mahasiswa. Namun, itu hanya berlaku sementara karena tidak lama, kami kembali pacaran.

Aku tidak menyangka kalau cinta monyet saat SMA bisa bertahan lama. Sampai akhirnya aku menikah dengan David. High school sweetheart does exist. I believe that.

Delapan tahun pacaran ternyata tidak menjamin bahwa pernikahanku dan David akan berjalan mulus. Pacaran lama tidak membuatku memahami siapa David sepenuhnya, begitu juga sebaliknya. Honeymoon phase itu rasanya berlalu dengan sangat cepat.

Kehidupan yang awalnya kurasa sempurna, mendadak jatuh ke titik terendah tidak lama setelah memasuki usia pernikahan kedua. Entah perubahan itu sudah berlangsung lama, dan baik aku atau David sama-sama membutakan mata dan menganggapnya tidak ada. Hubunganku dan David terasa kian berjarak.

Seks juga tidak membantu karena aku menganggapnya hanya sebatas kewajiban sebagai istri. Aku tidak pernah mencapai klimaks, dan David langsung tidur setelah selesai dengan dirinya.

Hambar, hanya itu yang kurasakan.

Banyak cara kulakukan untuk memperbaiki hubungan itu, tapi David tidak menggubrisnya. "We're good. Nothing's wrong with us. It's you just being you, an overthinking maniac." Itu alasan David setiap kali aku mengutarakan kegusaranku.

Jarak antara aku dan David makin terasa setelah aku mendapat promosi hingga aku menjadi atasannya di kantor. David yang sudah lebih dulu masuk ke firma hukum itu merasa terpojokkan. Belakangan aku tahu kalau pengangkatanku itu sangat melukai egonya.

He kept it by himself. Aku tidak tahu apa-apa karena dia tidak pernah berbagi perasaannya denganku. Di hadapanku, David bersikap biasa saja. Namun, dia pun tidak bisa lagi menyembunyikan egonya yang terluka, tapi malah menimpakan kesalahan kepadaku.

Awalnya aku menganggap ini salahku.

"Terus lo mau apa? Pindah kerja? Berhenti kerja? Lo yakin dengan begitu dia bakalan perjuangin lo lagi?" Agnes, sahabatku, berusaha mengembalikanku kepada kenyataan.

"It's okay kalau lo mau berkorban. Namun, jangan sampai pengorbanan lo itu sia-sia dan nantinya malah membuat lo menyesal." Agnes kembali menasihatiku.

Puncaknya, aku kehabisan kesabaran ketika mendapati David mencium Contract Attorney yang bekerja dengannya. Keputusanku akhirnya bulat.

I want to end this never ending misery.

Tidak pernah terbayang dalam benakku kalau aku akan menyandang status janda di usia 27 tahun.

Namun, ketika aku melangkahkan kaki keluar dari ruang persidangan ini, tidak ada satu pun penyesalan yang tertinggal.

Partner with BenefitWhere stories live. Discover now