11. Pro Bono

52.2K 6.4K 250
                                    

Tidak biasa-biasanya lampu di ruangan Ruly masih menyala saat aku bersiap untuk pulang. Bukan berarti aku selalu menjadi yang terakhir pulang, tapi sudah seminggu ini aku tidak pernah bertemu dengannya.

Tadinya aku ingin pergi begitu saja, tapi aku masih merasa berutang budi kepadanya. Bagaimanapun, Ruly sudah membantuku di kasus terakhir. Aku mengikuti sarannya, dengan mengajukan penawaran yang pernah dibuat Ruly dulu untuk Adhyaksa, dan Abimana pun setuju. Setidaknya, menjelang akhir kasus, Abimana tidak lagi membuat kepalaku pusing.

Aku pun mengurungkan niat untuk pulang. Alih-alih, aku menyeberangi koridor sempit itu dan menuju pintu ruangan Ruly. Dari balik pintu kaca itu, samar-samar aku bisa melihat kehadirannya di dalam ruangan itu.

Perlahan, aku mengetuk pintu itu sebelum membukanya. Aku mendapati Ruly tengah terbaring di sofa yang ada di ruangannya. Sofa itu jelas tidak bisa menampung kakinya yang panjang, sehingga dibiarkan menjuntai.

Ruly mendongak ke arah pintu. Dia menyunggingkan sebaris senyum tipis ketika melihatku.

"Kirain cuma tinggal gue satu-satunya manusia di kantor ini," selorohnya.

Aku tertawa kecil menanggapi candaannya. Tentu saja dia bukan satu-satunya manusia yang terjebak hingga malam di ruangan-ruangan yang ada di kantor ini.

"Just want to say thank you for your help," ujarku, bergeming di pintu ruangannya.

Pengalaman mengajarkanku untuk tidak berlama-lama bersama Ruly. Pertemuanku dengannya selalu berakhir dengan rasa malu yang kembali merambati hatiku. Seharusnya aku sudah menyelesaikan masalah antara aku dan Ruly, bukannya membiarkannya berlarut-larut seperti ini. Namun, aku tidak berani membawanya ke hadapan Ruly tanpa mempermalukan diri sendiri.

Dengan dagu, Ruly mengisyaratkan agar aku masuk. Namun, aku bergeming di tempat.

"Kasus Abimana selesai?"

"Bisa dibilang begitu. Gue sudah mengajukan penawaran terakhir." Aku membalas singkat.

"Dia terima?"

"Like what you said, dia langsung manut waktu denger nama kakaknya."

Ruly terkekeh. "He's a troublemaker. Tapi kakak beradik itu memang biang masalah semua. Good for us actually, because I need their money to continue this case," sahut Ruly sambil menunjuk dokumen yang sedang dibacanya.

"Kasus apa?"

"Bukan kasus yang datengin duit pastinya. Malah sebaliknya." Ruly terkekeh.

Jawabannya menimbulkan banyak pertanyaan di benakku. Rasa ingin tahu itu begitu besar sehingga aku tergoda untuk melangkah masuk ke ruangan Ruly. Aku pun sengaja mencengkeram gagang pintu untuk mencegah kakiku agar tidak memasuki ruangan itu.

Ruly bangkit duduk. Penampilannya tampak berantakan, dengan kemeja kusut akibat dibawa tidur. Jas dan dasinya entah berada di mana. Rambutnya mencuat ke berbagai arah, membuatnya tampak menggemaskan.

"Can you help me? I'm stuck so I think I need a new perspective."

Permintaan Ruly menjadi semacam pertahanan terakhir, dan rasa ingin tahu itu akhirnya menang. Aku pun melepaskan cengkeraman di pintu dan melangkah masuk.

"Kasus apa?" Aku kembali mengajukan pertanyaan yang sama.

"Istri ditipu suaminya yang jual tanah ke pengembang, jadi terusir."

Dahiku mengernyit saat mendengar jawaban Ruly. Itu jenis kasus yang tidak pernah ditangani oleh firma ini. Kalaupun iya, firma ini pasti membela si pengembang.

Partner with BenefitKde žijí příběhy. Začni objevovat