33. Second Chance

51.7K 6.4K 396
                                    

Ruly merebut minuman yang ada di tanganku dan langsung meneguknya, membuatku mengumpat tindakannya dalam hati. Bisa-bisanya dia bertingkah kekanak-kanakan seperti ini di tengah acara penting orangtuanya.

"Gue haus, Ra, dari tadi ngeladenin basa basi orang enggak berhenti-berhenti," jelas Ruly.

Aku mencibir dan mengambil gelas lainnya. Aku langsung meneguknya sebelum Ruly kembali merebutnya.

Aku sengaja melipir ke bagian yang lumayan sepi agar bisa menjauh dari Lola dan rekan kerjaku yang lain. Pujian yang diberikan Pak Nizar nyatanya malah semakin membakar kecemburuan di hati mereka. Daripada aku harus makan hati, lebih baik menghindar.

Dengan sudut mata, aku melirik Ruly, biang kerok dari semua masalah.

"Lo tahu enggak, sih, kalau kuping gue sampai panas karena direndahin sama orang-orang itu?" Aku menunjuk ke sembarang arah.

Ruly menatapku dengan dahi berkerut.

"Karena lo lebih milih si anak bawang kayak gue buat jadi partner di kasus Pandu," lanjutku.

Ruly hanya mendengus. "Terus, lo jadi enggak percaya diri karena omongan orang?"

Seharusnya aku tidak membiarkan omongan itu mengacaukan pikiranku. Namun, aku hanya manusia biasa. Ketika semua orang meragukanku, wajar jika aku pun mulai meragukan diri sendiri.

Ruly menyentuh pundakku dan memaksaku untuk menghadapnya. Dia menunduk agar bisa sejajar dengan mataku.

"Gue enggak mau sikap tiba-tiba minder kayak gini bikin usaha kita jadi sia-sia." Ruly berkata tegas. "Gue enggak asal, Ra. Gue milih lo juga atas persetujuan Pak Nizar."

Aku menatapnya dengan mata menyipit. "Lo cerita apa aja sama bokap lo?"

Sebaris senyum usil tersungging di wajah Ruly, membuatku menyesal sudah melontarkan pertanyaan barusan.

"Yang pasti, rahasia lo jadi partner in sex gue masih aman."

Refleks aku menendang tulang keringnya, membuat Ruly mengaduh kesakitan dan melepaskanku. Godaan untuk menghajarnya sampai babak belur begitu besar, tapi aku menahan diri. Mengingat ini rumahnya, dan aku tidak ingin mempermalukan diri sendiri.

Beruntung Pak Nizar mengalihkan perhatianku. Dia tengah meminta semua perhatian untuk tertuju kepadanya. Di atas stage kecil yang sengaja didatangkan ke pesta ini, Pak Nizar dan istrinya berdiri bersisian sambil mengangkat tinggi-tinggi gelas di tangan mereka.

Pak Nizar tengah memuji istrinya, juga tahun demi tahun yang mereka lewati bersama. Sekali lagi, rasa iri berhasil merayap masuk ke hatiku.

I wish I had a long and happy marriage like them. Bersama hingga tua tentu menjadi keinginan setiap pasangan. Sayangnya, kadang keinginan itu harus berakhir dengan sekadar keinginan saja.

"Kenapa lo? Tersentuh sama pidato bokap gue?" sergah Ruly.

Aku mengangguk perlahan. "They look happy together. Nyadarin gue sama kegagalan pernikahan gue."

Ruly bersedekap dan ikut memandang lurus ke arah orangtuanya. "Enggak semua orang sukses di percobaan pertama. Take a look at my mother. As you know, this is her second marriage."

Penuturan Ruly membuatku tertegun. Aku menatapnya dan ibunya berganti-gantian.

Ruly melirikku sekilas sebelum kembali membuka mulut. "Nyokap gue cerai dan harus jadi single mother buat anak yang baru berumur dua tahun. Di masa itu,  jadi single mother jelas bukan hal yang mudah. Apalagi nyokap harus kerja dan juga ngurus anak sendiri."

Partner with BenefitWhere stories live. Discover now