22. New Guy

66.4K 5.6K 196
                                    

Aku mengikatkan tali bathrobe di pinggang sembari melangkah keluar dari kamar Ruly. Apartemen itu sepi, hanya sayup-sayup terdengar suara denting dari arah dapur. Alih-alih menuju dapur, aku malah berkeliling.

The view is to die for. Aku tidak menyangka ada apartemen dengan pemandangan sebagus ini di Jakarta. Terletak di lantai 35, apartemen Ruly lebih didominasi oleh dinding kaca sehingga menawarkan pemandangan lepas. Meski saat melongok ke balik kaca cukup membuatku gamang, tapi aku menyukai kesan hening yang ditimbulkannya. Aku bisa membayangkan menghabiskan waktu memandang keluar jendela berteman segelas wine. Sebuah cara sederhana untuk menenangkan pikiran.

Apartemen ini didominasi warna hitam dan putih yang memberikan kesan kaku sekaligus lapang. Di ruang tamu ada sofa putih yang sangat nyaman dan besar, juga perlengkapan home theater yang lengkap. Ruangan itu langsung berbatas dengan ruang makan yang diisi oleh kitchen island berwarna senada. Aku tidak menyangka jika Ruly memiliki dapur yang lumayan lengkap.

Sebagai seseorang yang tinggal sendiri, apartemen ini terasa begitu luas. Pastinya sangat berbeda dengan apartemen seadanya yang baru saja kutempati selama dua bulan terakhir ini.

Ruly membawa dua piring berisi scrambled eggs ke kitchen island. Aku menarik salah satu kursi yang cukup tinggi, sementara Ruly memutuskan untuk berdiri di seberangku.

"Ketemu bathrobe di mana?"

Aku menunduk dan menatap bathrobe yang kupakai. "Di lemari di kamar mandi," sahutku sambil tersenyum lebar.

Ruly hanya tertawa, sekalipun tindakanku mengacak-acak isi kamar mandinya bisa disebut lancang. Namun, aku tidak punya cara lain karena tidak mungkin memakai pakaian yang semalam kupakai ke sini. Jadi, aku pun membuka lemarinya satu per satu dan menemukan bathrobe ini.

"By the way I have an idea." Ruly menarik kursi di seberang kitchen island ini dan mendudukinya. "Demi kepentingan lo karena gue merasa kasihan sama lo."

Aku menatapnya dengan ekspresi curiga. Naluri bisa menebak kalau apa pun yang akan diucapkannya setelah ini pasti akan menyulut emosiku.

"Why don't you list down all your needs and then we can try it one by one?"

"My needs?" tanyaku, sekadar mengonfirmasi.

Ruly mengangguk. "Daftar pertama bisa lo coret. I just went down on you this morning."

Aku mengangkat garpu dan mengacungkannya, menjadikan garpu itu sebagai ancaman mematikan. "Jangan macam-macam."

Ruly terkekeh. "Ini juga demi kebaikan lo. Anggap saja gue kelinci percobaan yang bisa lo manfaatin sesuka hati. Gue yakin ada banyak yang pengin lo coba."

Aku menelan ludah. Rona merah di pipiku sudah cukup untuk meyakinkan Ruly bahwa tebakannya benar.

Namun, jangan harap aku akan mengikuti ajakan itu sekalipun jujur saja, itu cukup menggiurkan. Selama ini, keinginanku masih sebatas keinginan belaka karena David yang seringnya enggan untuk mengabulkan keinginanku.

"No, thanks," ujarku, akhirnya.

Ruly sudah membuka mulut, tapi dering ponselku membuatnya mengurungkan niat. Mataku membola saat melihat nama Mama di layar. Refleks aku membekap mulut Ruly sebagai upaya untuk mencegahkan berbicara. Aku tidak ingin menimbulkan masalah dengan Mama jika mendengar ada suara laki-laki di dekatku.

"Ya, Ma?"

Aku mendelik, menyuruh Ruly berhenti melepaskan tanganku yang membekap mulutnya. Lewat lirikan mata, aku memberi kode ke arah ponsel agar dia mengerti maksudku.

Partner with BenefitWhere stories live. Discover now