42. The Late Bloomer

56.1K 6.2K 377
                                    

Aku melengkungkan punggung sembari mencuri oksigen untuk mengisi paru-paruku. Dadaku terasa sesak, membuatku kesulitan untuk bernapas. Kedua tanganku menekan sisi tempat tidur di samping Ruly, sementara dia menyentakku kian dalam.

Tubuhku terasa seperti mendapat kejutan listrik setiap kali Ruly menyentakku. Di saat yang sama, aku bergerak kian liar di atas tubuhnya. Menyambut dirinya dengan rasa lapar yang sama.

Aku menekan tubuhku, membuat Ruly seakan memenuhi diriku sepenuhnya. Perlahan, aku mencoba menarik napas panjang tapi tindakan itu hanya membuatku semakin menggila.

Tidak, pria ini yang membuatku semakin menggila.

Dia tidak memberiku waktu barang sedetikpun untuk mempersiapkan diri. Dia mendorongku ke tempat tidur, dan memerangkap tubuhku. Aku pun menyadari kalau aku juga tidak ingin membuang waktu, seakan tubuhku sudah menunggu kedatangannya. Seperti dikejar sesuatu, Ruly menelanjangiku dengan tergesa-gesa dan aku pun melakukan hal yang sama kepadanya. Seakan kami sedang mengejar sesuatu sehingga tidak ingin membuang waktu, bahkan hanya sedetik, untuk menarik napas.

Ruly meraih pinggangku, meningkahi gerakanku yang semakin lahap dalam menyambut dirinya.

"Slow down, girl!"

No fucking way. Berbanding terbalik dengan peringatannya, aku justru semakin cepat memacu diriku di atasnya.

I need him. Untuk alasan apa, aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku membutuhkannya. Itulah yang membuatku melakukan drunk call semalam. Jadi, ketika Ruly muncul di ruanganku sore tadi, aku langsung menariknya ke dalam ruanganku dan menciumnya.

Aku tidak menolak ketika Ruly membawaku ke apartemennya.

Erangan keluar dari bibirku saat aku tidak lagi bisa menahan diri. Terlebih kini kedua tangan Ruly berada di payudaraku. Remasannya terasa keras dan menimbulkan perih, tapi juga membuatku semakin candu.

Aku menekan kedua tangannya di payudaraku, agar dia tidak beranjak.

Gerakan Ruly semakin liar dan menguasai tubuhku. Dia seolah mengendalikanku sepenuhnya, sekalipun saat ini aku berada di atasnya tapi aku tidak punya kuasa apa-apa.

Dengan sisa tenaga yang ada, aku merebahkan tubuhku di atas dadanya. Aku mencari bibirnya, dan Ruly langsung mengerti. Dia membungkamku dengan ciumannya, menahan lenguhan yang siap keluar dari mulutku di saat aku tidak lagi bisa mengendalikan diriku.

Ruly pun merasakan hal yang sama, ketika gerakannya semakin liar. Ciumannya kian menuntut, memenuhi semua permintaanku.

Dengan satu sentakan keras, Ruly melepaskan hasratnya bersamaan dengan diriku yang mencapai puncak kepuasan.

Sontak aku mempererat dekapanku di tubuh Ruly, seiring dengan tubuhku yang bergetar hebat. Aku melepaskan ciumannya, sekadar untuk menghela napas. Namun, Ruly malah membenamkan wajahnya di lekukan leherku. Napasnya yang menggebu menyentuh kulitku, membuatku bergidik sekaligus menikmati kehangatan yang terasa sangat intim.

Bersamanya membuatku seperti kehilangan orientasi waktu. Aku tidak tahu berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk menenangkan diri di dalam pelukannya. Perlahan, Ruly melepaskanku sehingga aku bisa berguling turun dari tubuhnya. Sambil tidur telentang, aku kembali mengatur napas.

"What is that?" tanya Ruly. Dia mengulurkan lengannya ke sekeliling pundakku dan menarikku untuk bersandar ke dadanya. "You are full of emotion."

Aku hanya tertawa kecil. Ingatanku memutar ulang semua hal yang terjadi hari ini dalam gerak cepat. Aku yang terbangun di rumah Agnes dengan kepala nyaris meledak, tapi memaksakan diri untuk ke kantor. Bang Tobing kembali memarahiku, padahal minggu depan dia sudah pensiun. Sepertinya dia ingin menghabiskan saat terakhir di kantor dengan mengomeliku habis-habisan.

Partner with BenefitWhere stories live. Discover now