46. I Do Care For You

54.6K 6.8K 504
                                    

Tanpa suara, Ruly meraih tanganku dan menarikku menjauh dari lobi hotel. Dia memaksaku mengikutinya, sekalipun aku meronta minta dilepaskan dan kami pun menjadi tontonan orang yang ada di lobi hotel itu.

Ruly masih mencekal lenganku, bahkan saat kami sudah berada di dalam lift. Wajahnya yang mengeras cukup membuat nyaliku ciut, tapi aku sudah memikirkan hal ini akan terjadi. Namun, aku tidak menyangka Ruly akan mengetahui kepergianku secepat ini.

Dia sedang berada di Semarang minggu ini, seharusnya tetap berada di sana sampai akhir pekan. Karena itulah, aku merasa aman saat mengajukan cuti karena Ruly tidak akan mengetahui kepergianku. Namun, di hari kedua, tiba-tiba saja dia muncul di hadapanku.

Otakku berputar mencari penyebab yang membocorkan kepergianku kepada Ruly. Pasti bukan Ilman, karena dia sama terkejutnya denganku ketika melihat Ruly. Lagipula, usai mengurusku, Ruly pasti akan membuat perhitungan dengan Ilman.

Sekali lagi, Ruly menarikku saat lift berhenti di lantai empat. Ini bukan lantai tempat kamarku berada.

Ruly membuka pintu salah satu kamar, dan mendorongku masuk. Dia mengunci pintu di belakangnya, membuatku terperangkap di kamar ini bersama Ruly dan amarahnya.

Aku mengibaskan tangan yang perih akibat cengkeraman Ruly. "Lo bisa perlakuin gue lebih baik dari ini," gerutuku.

Ruly mendengus. Tentu saja dia tidak sudi memperlakukanku dengan baik, berkaca dari amarah yang menguasainya saat ini.

"Lo bukannya seharusnya di Semarang?" tanyaku, masih berusaha mengusir perih di tanganku.

Mata Ruly terbeliak, seakan aku baru saja menanyakan hal paling sensitif. "Lo pikir gue bisa tenang di Semarang sementara lo berkeliaran di sini?" tanyanya sinis. "I have to drop everything, cuma karena lo enggak mau dengerin peringatan gue."

Aku menarik napas panjang, berusaha untuk tidak ikut terpancing emosi. "Pak Drajat yang gue temui, gue udah kenal dia sejak lama. Jadi gue rasa enggak ada salahnya nemenin Ilman ketemu beliau."

"Enggak salah?" Ruly berteriak di hadapanku. "Membuat orang panik, itu enggak salah?"

"Lo enggak seharusnya sepanik ini."

Ruly memegang kedua sisi pundakku dan memaksaku menatapnya. Aku sengaja menatap ke sembarang arah, sedikitpun tidak berani membalas tatapannya yang menantang itu.

"Kita balik ke Palembang sore ini, dan naik penerbangan terakhir ke Jakarta."

Aku terkesiap. Refleks aku menggeleng. "Gue udah janji sama Ilman."

"Stop your bullshit. Ilman sudah punya tim sendiri, dan lo enggak ada di dalam tim itu." Ruly berkata ketus. "Gue atasan lo, Tyra. LBH ini punya gue, jadi dengerin kata-kata gue."

Aku hanya bisa mengutuk dalam hati, karena tahu tidak bisa melawan Ruly. Dia memang atasanku. Dan, LBH ini juga miliknya. Dilihat dari segi apa pun, dia mempunyai kuasa yang jauh lebih banyak sehingga aku tidak memiliki celah sedikitpun.

"Terserah." Aku membalas ketus. Aku mengibaskan kedua tanganku, berusaha melepaskan diri dari Ruly, tapi tindakanku hanya membuatnya semakin mempererat cengkeramannya.

"I don't understand about you," ujar Ruly, meski nada suaranya sudah mulai melunak, tapi tetap terdengar menusuk. "Kenapa lo sekeras kepala ini?"

"Gue yang enggak ngerti lo. Kenapa lo melarang gue, sementara lo juga yang selalu mendorong gue buat melakukan apa yang gue mau," timpalku.

"Bukan melakukan hal nekat seperti ini, Tyra Karina!"

Ini kali pertama Ruly menyebut nama lengkapku. Sepertinya kekesalannya sudah tidak terbendung lagi.

Melihat tindakan Ruly ini juga cukup mengganjal. Dia tidak seharusnya semarah ini. Kesal mungkin, tapi mengamuk seperti ini? Aku tidak habis pikir.

Partner with BenefitWhere stories live. Discover now