20. Partner with Benefit

80.5K 6.3K 387
                                    

Aku menghempaskan tubuh ke sofa yang ada di dalam ruanganku sambil mengembuskan napas keras-keras. Hari ini tidak berjalan sesuai dengan yang kuharapkan.

Calista menghubungiku untuk mengabarkan kalau dia berubah pikiran. Baru beberapa hari yang lalu dia tampak yakin ingin melanjutkan kasus ini dan sudah punya cara untuk melawan ancaman Inge, tapi hari ini dia malah memutuskan untuk mencabut gugatan itu.

Saat bertemu David untuk membahas kelanjutkan kasus ini, dia memasang ekspresi penuh kemenangan yang memuakkan. Padahal, dia tidak bisa disebut sebagai pihak yang menang. Kasus ini berakhir karena Calista membatalkan gugatan, bukan karena kemampuan argumen David saat di pengadilan.

Aku sudah berusaha meyakinkan Calista untuk terus maju. Di atas kertas, dia bisa menang dengan mudah. Namun, juga ada alasan kecil di hatiku, karena aku ingin sekali lagi mengalahkan David.

"Thanks, Tyra, but this is my decision. Kalau ancaman itu cuma berlaku untuk menjelekkan image gue, gue bisa mengatasinya. Tapi, ancaman itu juga berpotensi menghancurkan calon suami gue, that's why I don't want to pursue it anymore. Just make sure that she never reveals the threat and ask her to not show herself in front of me." Calista menjelaskan panjang lebar, sekaligus meyakinkan kalau keputusannya sudah bulat.

"I did it because I love my fiance, hope you understand," lanjutnya.

Sayangnya, aku tidak bisa mengerti sepenuhnya penjelasan Calista. Aku hanya pernah mencintai David, tapi tetap saja aku tidak bisa memahami sepenuhnya alasan di balik keputusan Calista.

Pintu ruanganku diketuk, dan sosok Ruly muncul di sana. Melihatnya kembali membuatku merasa canggung. Hubunganku dengan Ruly kembali seperti semula, penuh dengan kecanggungan, semua karena omong besar yang kulakukan.

Melihat Ruly dengan langkah enteng memasuki ruanganku, bisa kurasakan pipiku memerah. Sepanjang sisa hari di Bali, Ruly tidak henti-hentinya menggangguku. Berkali-kali dia mengungkit soal tawaran yang kuajukan di luar akal sehatku itu, membuatku semakin gondok saja.

Ruly meletakkan dua kotak makan di atas meja. "Belum makan, kan?"

Aku mengambil salah satu kotak dan mengintip isinya. Nasi goreng itu menyadarkanku kalau aku sangat lapar. "Thanks," ujarku.

"Lagi bete?"

"Calista mutusin buat mencabut gugatannya," sahutku.

"Ah, that one. Yeah, she told me already." Ruly menyahut. "There's another case, I think she wants to focus on that case."

"Another one?"

"Sexual assault, dari fotografernya. Ada beberapa korban juga, jadi sekarang gue dan Bethany lagi ngumpulin kesaksian dari korban. This is gonna be a huge case. Mungkin, gue akan butuh bantuan lo nantinya," jawab Ruly.

Selama beberapa detik, aku hanya bisa menatapnya dengan wajah melongo. "Curang, ya. Kasus menarik diambil sendiri, yang dikasih ke gue malah yang biasa aja."

Ruly terkekeh. "Gue yakin lo bakal selesaiin kasus ini dengan cepat, makanya gue kasih. Jadi, begitu ini selesai, gue bisa minta bantuan lo buat kasus lainnya."

Aku menyendok makan malamku sambil berpikir keras. Walaupun alasannya cukup masuk akal, tapi aku tidak bisa menahan iri karena dia memiliki kasus yang sangat menantang. Ditambah dengan nama besar Calista, kasus ini pasti akan menjadi sorotan. Desakan pihak firma untuk memenangkan kasus ini pasti sangat besar, mengingat kemenangan itu bisa berimbas baik kepada image firma ini. Di sisi lain, jika aku yang memenangkan kasus itu, bisa membuat penilaianku meningkat drastis.

Partner with BenefitWhere stories live. Discover now