10. What Mother Wants

57K 6K 206
                                    

Aku tidak tahu kapan tepatnya hubunganku dengan Mama jadi merenggang. Mungkin sejak Mama menganggapku pembangkang karena memilih untuk kuliah di UI ketimbang mengikuti keinginannya untuk tetap kuliah di Palembang. Alasannya karena abangku sudah lebih dulu keluar dari rumah dan kuliah di Bandung, sehingga hanya aku satu-satunya yang tersisa di rumah.

Alasan Mama lainnya, aku tidak perlu kuliah jauh-jauh karena tidak ada manfaatnya. Alasan kolot yang sayangnya masih dipercayai oleh Mama dan ibu-ibu seumurannya.

Saat itu, aku memberontak dan menentang alasan Mama. "Kalau Abang boleh kuliah di Bandung, kenapa aku enggak?"

"Karena kamu anak perempuan satu-satunya," alasan Mama kala itu.

"Abang juga anak laki-laki satu-satunya."

"Abang nanti akan jadi kepala keluarga, jadi sudah seharusnya dia kuliah yang bagus."

Baik saat itu ataupun sekarang, aku masih tidak habis pikir dengan alasan Mama. Apa hubungannya genderku dengan pilihan kuliah? Kartini bisa menangis kalau beliau mendengar argumen Mama.

Tidak kehabisan akal, Mama membawa nama David.

"Kamu cuma mau ngikutin David. Memangnya kamu sanggup kuliah di situ?"

"Kalau iya, kenapa? Buktinya aku keterima, itu tandanya aku mampu kuliah di situ. Aku selalu juara, guru-guruku sudah yakin aku bisa masuk UI karena nilai-nilaiku. Kenapa Mama malah underestimate?"

Mama masih tidak setuju, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya untuk mencegahku. Papa juga tidak bisa diandalkan. Papa bukan tipe kepala keluarga yang tegas, beliau cenderung lebih suka menghindari konflik dengan cara mengalah kepada Mama. Hubungan mereka yang disfungsional itu cukup mempengaruhiku.

Ketika aku mendapati David mulai pesimis dan menyalahkan diriku yang melaju jauh lebih cepat dibanding dirinya, perlahan David mulai menjadi seperti Papa. Perubahan itu juga ikut ambil andil dalam berakhirnya hubungan kami, karena aku dan David yang kian berjarak sampai tidak lagi menemukan titik temu.

Hubungan itu semakin membaik ketika aku menikah dengan David. Bagi Mama, tugas utamanya sudah selesai. Melihatku menikah jauh lebih membahagiakan ketimbang saat aku didaulat sebagai lulusan terbaik.

Jadi, tidak heran kalau hubunganku dan Mama kembali merenggang pasca berakhirnya hubunganku dengan David.

Aku ingat ketika pulang ke rumah dan memberitahu Mama soal gugatanku.

"Kamu sudah tidak waras." Hanya itu kalimat yang keluar dari mulut Mama.

Aku jauh-jauh ke Palembang untuk menenangkan diri, tapi nyatanya malah menyulut pertengkaran dengan ibuku sendiri.

Tadinya aku memang sudah skeptis tapi masih ada setitik harapan di hatiku kalau Mama akan mendukungku. Namun, sampai aku kehabisan suara menceritakan semua permasalahanku dan David, Mama masih menganggapku sudah tidak waras.

"Apa kata orang kalau tahu kamu bercerai?"

Detik itu aku tahu, kesalahan besar yang kubuat adalah berharap kepada ibuku sendiri.

"Mama lebih peduli apa kata orang ketimbang hidup anak Mama sendiri?"

Mama tidak menjawab. Beliau masih saja seperti orang kebakaran jenggot dan berjalan mondar mandir di depanku.

"Keluarganya David sudah sangat dekat dengan keluarga kita. Kamu tahu ini kota kecil, Mama harus gimana kalau ketemu mereka?"

"Memangnya masalahnya apa?"

Pertanyaanku malah membuat Mama semakin murka.

"Masalahnya? Mama bisa jadi gunjingan semua orang Tyra, kamu mikirin enggak?"

Partner with BenefitWhere stories live. Discover now