45. Behind His Back

52K 6.9K 718
                                    

Maria benar, aku tidak bisa mengendalikan diriku. Karena saat ini, ketika aku menatap Ruly memberikan pemaparan di tengah meeting, ingatanku malah melayang ke tempat lain. Bagaimana suara yang berat itu selalu menuntunku sampai aku merasakan kepuasan yang selama ini hanya ada di dalam bayanganku.

Juga saat menatap Ruly, aku harus menahan kuat keinginan untuk tidak melompat ke pelukannya dan mencium bibirnya. Juga melepaskan pakaiannya agar dia bisa bercinta denganku, seperti sebelumnya.

Seringkali, aku hanya bisa memarahiku sendiri dan kemudian menenggelamkan diriku ke dalam fantasi bernama Ruly untuk menemaniku melewati malam-malam sepiku.

Pandangan Ruly beradu denganku. Dia memberikan senyum simpul, sebelum kembali fokus ke penjelasannya.

Aku hanya bisa menunduk sambil berusaha meredakan debaran di dadaku.

Notifikasi yang muncul di ponsel menyita perhatianku. Aku meraih ponsel itu dan menyembunyikan ke bawah meja. Sambil mencuri kesempatan, aku membuka pesan itu.

Ini sangat tidak profesional, tapi aku butuh hal lain untuk mengalihkan diri agar tidak terjebak ke dalam fantasi bernama Ruly di tengah hari bolong seperti saat ini.

Pesan itu dari Papa. Berisi sederet nomor atas nama Pak Drajat.

Atas permintaan Ilman, aku menghubungi Papa. Aku terpaksa berbohong kepada Papa ketika Papa bertanya alasan aku menginginkan kontak Pak Drajat. Namun, akhirnya Papa paham ini bagian dari pekerjaanku.

Deretan nomor itu memiliki arti lebih.

Seperti ada yang menyentakku dan membangunkanku dengan paksa saat ini. Selama beberapa hari ini aku hidup seperti zombie, terombang ambing antara sadar dan tidak sadar. Namun detik ini, ketika membaca pesan dari Papa, aku seperti mendapatkan suntikan semangat baru.

Meeting itu berakhir meski tidak ada satu pun pembahasan yang masuk ke benakku. Nyatanya, aku malah memikirkan hal lain. Tepatnya kasus Mitra Jaya, yang sampai saat ini masih dibagi Ilman kepadaku tanpa sepengetahuan Ruly.

I know what to do in my life.

Satu hal yang pasti, aku tidak ingin menolak apa yang sebenarnya ingin kulakukan. Meski untuk itu, aku harus menghadapi halangan yang cukup berat bernama Ruly.

Aku sengaja bergeming di tempat sementara rekan-rekanku mulai beranjak meninggalkan ruang meeting. Ruly melewatiku, tapi dia menghentikan langkahnya saat melihatku masih duduk di kursiku. Dia memutuskan untuk ikut bertahan di ruang meeting itu hingga akhirnya tidak ada siapa pun di sana kecuali kami berdua.

"What's up, partner?" sapanya, sambil menempati kursi kosong di seberangku. "Lo berubah pikiran? Gue enggak keberatan jadi selingkuhan, kalau lo masih butuh gue."

Aku tertawa kecil menanggapi candaannya. Di saat tertentu, aku cukup terbantu dengan sikap Ruly yang selalu berhasil membuat suasana jadi ringan.

"Which one is the best, me or him?"

Aku mendecakkan ludah. "Gue enggak akan bikin lo besar kepala," timpalku.

Sambil mengulum senyum, Ruly menatapku sambil bersedekap. "Oh, it's me."

This is Ruly. Yang kepercayaan dirinya selalu berada di luar akal sehatku.

"Whatever," timpalku. "Ngomong-ngomong, gue dengar Ilman agak kesulitan menghubungi pihak Mitra Jaya."

Senyum di wajah Ruly menghilang, kini berganti dengan raut keras. Dia sama sekali tidak menutup-nutupi ketidaksukaannya saat aku mengungkit kasus itu.

"Bokap gue masih kenal beberapa orang. Mungkin gue bisa bantu Ilman." Aku memberanikan diri meskipun saat ini ekspresi Ruly seperti ingin menerkamku agar aku berhenti bicara.

Partner with Benefitحيث تعيش القصص. اكتشف الآن