13. The Wine

61.4K 6.4K 477
                                    

Aku menutup pintu ruangan Bang Tobing dengan perlahan. Setelah memastikan tidak ada siapa-siapa di koridor itu, aku pun melancarkan aksi mengamuk tanpa suara ke arah pintu yang tertutup itu. Tentu saja, sebenarnya aku ingin mengamuk di depan Bang Tobing, tapi aku masih tahu diri untuk tidak melakukannya.

Satu lagi yang ingin kujadikan sebagai sasaran amukan, Abimana. Dasar mulut besar. Bisa-bisanya dia membual di depan Bang Tobing dan lagi-lagi menyebutku tidak becus karena tidak semua keinginannya terpenuhi di persidangan. Aku tidak tahu apa lagi yang diinginkannya. Memberikan sejumlah uang kepada Liberta tentu bukan hal besar untuknya. Lagipula, dia sudah mendapatkan hak asuh anaknya karena ingin menyiksa Liberta.

Dalam hati aku berdoa semoga tidak pernah mendapatkan kasus dia lagi, ataupun anggota keluarganya yang lain, karena aku yakin mereka ibarat magnet untuk masalah.

Dengan langkah menghentak, aku meninggalkan ruangan Bang Tobing. Satu jam lebih dicecar oleh Bang Tobing yang enggak bisa berhenti ngomong itu membuat telingaku pekak. Kalau saja dia tidak ada jadwal meeting, aku pasti masih terjebak di ruangan itu, mendengarkan omelannya yang membuatku pusing setengah mati.

Seperti biasa, aku memilih untuk turun ke lantai tempat ruanganku berada melewati tangga ketimbang lift. Setidaknya aku bisa memanfaatkan beberapa menit ini untuk menenangkan diri.

Tidak peduli siang atau malam, kantor ini seringkali sepi. Nyaris seperti kuburan. Hanya ketikan keyboard laptop yang terdengar, dan suara teredam dari balik ruangan. Kali pertama menginjakkan kaki di sini, aku sampai harus berjalan pelan agar ketuk sepatuku tidak menimbulkan keributan di ruangan yang hening ini.

"Ra."

Panggilan Ruly terdengar mengggema di tengah keheningan ini. Aku yang sudah berniat membuka pintu ruanganku jadi urung, dan membalikkan tubuhku untuk menatapnya.

"Bisa ke ruangan gue sebentar?"

Aku menatapnya dengan kening berkerut, berusaha mencari sisa-sisa keusilan yang tersembunyi di sana. Namun, Ruly tampak serius. Aku mencoba melirik ke balik tubuhnya dan mendapati ada seseorang di ruangan itu.

Ruly mendahuluiku dengan memasuki ruangannya. Di dalam ruangan itu, ada seorang perempuan dengan rambut sebahu yang tertata rapi. Dia tersenyum saat melihatku. Perempuan itu tampak familier, tapi aku butuh memutar otak untuk berusaha mengingat siapa dia.

"Cali, ini Tyra, yang tadi gue ceritain." Ruly menunjukku saat dia berbicara kepada perempuan itu, sebelum kemudian dia menoleh ke arahku. "Ra, ini Calista. She needs your help."

Of course I know her. Baru bulan lalu aku menonton filmnya dengan Agnes.

Aku mengikuti Ruly mendekati perempuan itu. Dia lebih dulu mengulurkan tangannya. Jabatan tangannya terasa erat saat menggenggam tanganku.

"Calista," ujarnya. Suaranya terdengar merdu dan ramah.

Namun, aku cukup berpengalaman untuk tidak langsung menilai seseorang, apalagi selebriti. Beberapa selebriti yang akhirnya menjadi klienku, malah membuatku menyesal pernah mengenal mereka dan tertipu dengan image yang mereka suguhkan di awal perkenalan.

Ruly menyodorkan sebuah map kepadaku. Aku menerimanya dan membuka isinya. Sekilas lihat, aku bisa menangkap masalah yang ada di sana.

"Penggelapan uang?" tebakku.

"Mantan manajer gue. I don't know how much she stole for me, karena itu hanya bukti tiga tahun terakhir." Calista membenarkan tebakanku.

Aku kembali meneliti bukti yang ada di map itu. Mataku terbelalak saat melihat jumlah yang tidak sedikit. Bagaimana mungkin dia bisa mencuri selama tiga tahun tanpa ketahuan?

Partner with BenefitNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ