37. On Friday Night

61.7K 6.2K 557
                                    

"Jangan lupa malam ini testing menu baru gue. Ajak siapa gitu. Gue butuh lidah lain selain lo dan Yaya."

Aku membaca pesan yang dikirimkan Agnes untuk yang kesekian kalinya. Sejak pagi tadi, dia sudah memborbardirku dengan pesan yang sama. Meski kata-kata yang dipakainya berbeda, intinya sama. Aku harus datang untuk menyicip menu baru di Petit Paris. Ini sudah jadi kebiasaan karena aku selalu menjadi yang pertama mencoba menu baru kreasi Agnes.

Ketika membaca nama Lola, aku kembali ditimpa rasa bersalah. Sudah empat hari sejak Ruly mengamuk di depan Lola, dan dia benar-benar harus angkat kaki dari kantor ini. Beruntung pihak HR masih berbaik hati untuk menutup kasus ini, sehingga tidak menutup karier Lola untuk selamanya.

Kembali pesan Agnes masuk ke ponselku. Aku menutup laptop dan bersiap untuk pulang sedikit lebih cepat, hitung-hitung sekarang Jumat.

Saat menutup pintu ruanganku, aku berpapasan dengan Ruly. Dia tampak berantakan, sama sekali tidak bisa menutupi raut lelah yang tergambar di wajahnya. Sepanjang hari ini aku tidak melihatnya karena ada yang harus diurus dengan Ilman.

"Tumben pulang jam segini."

Di sampingku, Ruly hanya tertawa kecil. "It's Friday night. Memangnya gue enggak boleh pulang lebih cepat?"

Di bidang pekerjaan ini, kadang pulang cepat jadi sebuah anugrah yang kehadirannya tidak disangka-sangka. Biarpun sekarang Jumat malam, hari terakhir bekerja, kemungkinan untuk lembur jauh lebih besar.

"Mau ikut gue?" ajakku, tapi detik selanjutnya, aku langsung menyesali ajakan tersebut.

"Ke mana?"

Terlanjur basah. Seharusnya ajakan itu tidak pernah ada. Ruly pasti akan menerimanya, sehingga aku harus memutar otak untuk mencari alasan di depan Agnes dan Maria.

"Cake shop teman gue, testing menu baru," sahutku, masih berharap Ruly sangat lapar sehingga cake shop tidak membuatnya tergiur.

"Yang bikin muffin yang suka ada di kulkas?"

Aku mendelik. "Jadi lo yang suka nyolong muffin gue?" tuduhku. Sudah lama hal itu menjadi misteri. Sekalipun aku sudah menulis namaku di kotak muffin itu, tetap saja ada tangan iseng yang suka mencurinya.

Alih-alih menjawab, Ruly hanya menyengir lebar tanpa perasaan bersalah sama sekali.

"Pasal 362 KUHP. Barangsiapa mengambil seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara hukum, diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah." Aku berkata lantang.

"Lo enggak punya bukti."

"Pengakuan lo barusan cukup jadi bukti," timpalku.

Ruly mempersilakanku keluar lebih dulu dari lift. "Oke, gue bayar denda aja. Bisa kita diskusikan soal dendanya, mungkin dengan melanjutkan list yang lo punya?"

Refleks aku memukul Ruly dengan tote bag berisi dokumen terkait pekerjaan. Isi tote bag itu lumayan tebal sehingga Ruly mengaduh kesakitan.

Ruly terus mengekoriku sampai ke lokasi mobilku diparkir. Dia mengulurkan tangannya kepadaku.

"Gue yang nyetir, mobil gue ditinggal di sini aja."

Tentu saja aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku menyerahkan kunci mobil kepada Ruly dan berpindah ke sisi jok penumpang. Setelah memberikan alamat cake shop milik Agnes, aku merebahkan sandaran kursi untuk mengistirahatkan tubuhku.

Sejak perbincangan di pengadilan waktu itu, aku tidak lagi membahas soal Kata Hati. Ruly juga menghindarinya. Namun, diam-diam aku masih mengikuti perkembangannya dari Ilman. Ada beberapa nama yang masih kukenal karena pernah bekerja dengan Papa dulu. Rasanya gatal untuk mengungkitnya di depan Ruly. Mungkin, aku bisa melakukan sesuatu dengan koneksi yang kupunya. Namun, aku tidak tahu cara memberitahu Ruly. Dia pasti akan langsung defensif.

Partner with BenefitWhere stories live. Discover now