9. In Between

62.1K 6.6K 259
                                    

"Thanks lo, Bon, udah mau nemenin."

Di hadapanku, Bona melirikku dari balik cangkir kopi yang tengah diteguknya. Bona mengagetkanku dengan menjemputku pagi ini. Mumpung masih ada waktu sebelum berangkat ke pengadilan, aku pun mengajak Bona untuk brunch di cafe tidak jauh dari gedung pengadilan. Kebetulan, Bona juga tidak punya banyak waktu karena harus mengejar penerbangan kembali ke Bali siang ini.

"My pleasure," sahut Bona.

This is too fast. Aku sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya kulakukan di sini. Brunch bersama Bona jelas tidak pernah ada dalam rencana hidupku.

Namun, semuanya terjadi begitu saja.

Menghabiskan waktu bersama Bona terasa menyenangkan. Di balik penampilannya yang terkesan sangar, dia seorang pendengar yang baik. Bona juga punya banyak jokes yang membuatku betah menghabiskan waktu dengannya. Padahal, sampai sekarang aku bahkan belum menemukan satu pun persamaan dengan Bona.

Aku punya banyak persamaan dengan David, tapi itu saja tidak cukup untuk mempertahankan hubungan.

"Jadi, akan ada berapa tahap?"

"Paling dua atau tiga kali sidang lagi. Gue sendiri pengin mengakhiri ini secepat mungkin, biar enggak kelamaan sakit kepalanya," sahutku.

Di depanku, Bona menatap dengan ekspresi iseng di wajahnya. "Yang bikin sakit kepala itu klien lo, atau your ex yang kebetulan muncul lagi?"

Aku hanya mencibir menanggapi ledekannya. "Keduanya, tapi komisi yang gue terima enggak bikin sakit kepala."

Bona tertawa pelan. Suara beratnya membuat tawa itu terdengar renyah. "As much as I love bartending, capek kalau tiap malam harus begitu. Namun, duitnya ya di situ. Lo enggak tahu aja tip yang didapat dalam semalam berapa."

"Apalagi kalau bartendernya ganteng, ya?"

Tawa Bona kian lepas. "Not that I'm complaining, though."

Aku menyendok Egg Benedict yang menjadi menu brunch kali ini. Terlalu berat sebenarnya, apalagi buatku yang seringkali skip sarapan. Bagiku, secangkir kopi sudah cukup untuk mengawali hari. Namun, hari ini pengecualian. Aku butuh suntikan tenaga sebelum berhadapan dengan Abimana, dan juga David.

Hari ini akan berlangsung sangat panjang, jadi aku memutuskan untuk sarapan yang lumayan berat agar punya tenaga sampai persidangan ini selesai.

"Bakalan lama di Bali?" tanyaku.

"Minggu depan balik ke Jakarta lagi, masih ada urusan di sini. Ke Bali karena ada event aja weekend ini, jadi enggak bisa ditinggal." Bona menjawab panjang lebar.

"Seru, ya."

"Seru, tapi capek juga. I'm old, Tyra."

Aku mencibir, tidak bisa menahan tawa melihat ekspresi memelas yang ditampakkan Bona. Tentu saja itu hanya bercanda. Dia tidak setua itu untuk mengeluh capek harus bolak balik Jakarta Bali.

"Ngomong-ngomong, Maria dan Agnes mau ke Bali weekend ini. Lo yakin enggak mau ikut?"

Agnes sudah memberitahu soal rencana itu, tapi aku menolaknya dengan berat hati. Senin ibarat medan perang yang selalu menjadi momok menakutkan untukku, sehingga aku pun menjadikan Minggu sebagai waktu untuk diriku sendiri. Tentu saja menghabiskan akhir pekan di Bali sangat menggoda, tapi membayangkan mengejar penerbangan kembali ke Jakarta dan mempersiapkan diri menyambut Senin dalam waktu beberapa jam saja sudah membuatku capek duluan.

"Pengin, tapi enggak bisa. Lagian, mau kasih waktu aja buat Agnes. Sudah setahun ini gue jadi parasit di hidup dia."

Bona menatapku dengan kening berkerut, menuntut penjelasan lebih.

Partner with BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang