26. The Truth Reveal Itself

66.9K 6.2K 613
                                    

"Morning."

Aku membuka mata perlahan, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang mulai menyusup masuk. Beruntung saat ini Ruly belum membuka penutup jendela, sehingga aku tidak harus merasa silau akibat matahari pagi yang sangat menyorot.

Suara Ruly terdengar sedikit parau, tapi justru melemparkan ingatanku ke kejadian semalam. Ketika dia membimbingku dengan suara parau dan serak tersebut sampai aku menggapai puncak.

Tanpa sadar, aku menghela napas panjang. Sementara, Ruly malah terkekeh.

Aku mengangkat tubuh dan menyandarkan punggung ke headboard. Headboard tersebut menempel langsung ke dinding kaca. Semoga saja Ruly sudah mempertimbangkan setiap perempuan yang dibawanya ke sini, karena kondisi tempat tidurnya sangat tidak ramah terhadap pengidap acrophobia.

"What?" tanya Ruly, karena sejak tadi aku hanya menatapnya tanpa suara.

Aku menggeleng. Dia tidak perlu tahu kalau saat ini pikiranku tengah memutar ulang semua hal yang terjadi beberapa jam yang lalu. Aku masih merasakan kehadirannya di dalam diriku. Juga, sisa-sisa rasa puas yang mengikutiku hingga ke alam mimpi.

"You look like someone who never had an orgasm in years," ledeknya.

Pipiku sontak merona. Aku menunduk, berusaha untuk menyembunyikan rona merah itu agar Ruly tidak menangkapnya dan meledekku.

"Oh, no!" serunya, yang diikuti oleh tawa menyebalkan.

Aku meraih bantal dan melemparnya hingga tepat mengenai Ruly. Dia hanya menyingkirkan bantal itu tanpa menghentikan tawa.

Ruly beringsut hingga mendekatiku. Dia menelungkupkan tubuhnya dan melipat kedua tangannya untuk dijadikan bantal.

"Selama tiga tahun nikah, lo ngapain aja?"

Aku memutar bola mata. Pertanyaan itu tidak menyinggungku, tapi menyadarkanku akan betapa banyak hal yang sudah kulewatkan.

"Well, David was ... ya begitulah."

Ruly mengangkat sebelah alisnya, memintaku menyelesaikan ucapanku yang menggantung.

"Salah satu kesalahan gue adalah komunikasi di antara kita. Delapan tahun pacaran tidak menjamin komunikasi di antara kami berjalan lancar. Sebagian karena salah gue juga, memiliki ekspektasi tinggi tapi tidak mengutarakannya dan berharap David bisa mengerti," beberku.

Ruly masih diam, tapi dari tatapannya yang tertuju kepadaku, muncul dorongan dari dalam hatiku untuk bercerita lebih lanjut.

"Hubungan gue dan David enggak bisa dibilang lancar. Gue pernah mengutarakan maunya apa, tapi David enggak peduli. Begitu dia selesai, ya sudah. Giliran gue yang mangkel sendirian." Aku terkekeh.

Ruly memutar tubuhnya hingga kini dia berbaring telentang. Bed cover yang menyelimuti tubuhnya tertarik turun hingga menampakkan perutnya yang rata. Aku menelan ludah, kembali teringat betapa liatnya tubuh tersebut saat bercinta denganku.

Kehadirannya seperti membangunkan bagian di dalam tubuhku yang sudah tertidur begitu lama. Tanpa sadar, aku menyadari apa yang sebenarnya aku inginkan tapi selama ini memendamnya rapat-rapat hanya karena David tidak pernah membuka dirinya untuk memenuhi keinginanku.

It was all about him. Just him and his sexual gratification.

"Seharusnya dia sadar kalau perempuan harus merasakan kepuasan itu terlebih dahulu. You know, itu salah satu kelemahan kaum gue. Begitu selesai, ya harus mulai dari awal lagi." Ruly terkekeh. "Tapi lo, dan kaum lo, enggak perlu memulai dari awal lagi karena tubuh kalian memang didesain seperti itu."

Partner with BenefitWhere stories live. Discover now