43. Already Fallen

54.1K 6.8K 964
                                    

Aku sudah berkali-kali menginap di apartemen Ruly, tapi tidak pernah benar-benar memperhatikan keadaan di sini. Dingin lantai terasa menggigit saat aku menginjakkan kaki setelah turun dari tempat tidur. Dari dinding kaca yang dibiarkan terbuka, aku melihat langit di luar masih gelap, dengan sedikit bayang-bayang cahaya keemasan yang menunjukkan pagi akan segera datang.

Setelah menyambar jubah mandi yang tergeletak di lantai dan memakainya, aku berkeliling kamar Ruly. Kamar itu cukup besar, meski terkesan kaku. Selain tempat tidur dan meja kerja, ada rak buku yang cukup tinggi dan tertata rapi. Sama seperti ruangan lainnya, kamar ini juga didominasi warna putih dan hitam.

Sambil berusaha melangkah sepelan mungkin karena tidak ingin membangunkan Ruly, aku beranjak menuju rak buku. Entah apa yang kucari, mungkin aku hanya ingin mengenali Ruly lebih jauh dari koleksi bukunya.

Aku menahan tawa saat melihat satu bagian rak buku yang dipenuhi komik Detective Conan. Mendapati sisi kekanak-kanakan Ruly membuatku cukup terhibur. Dilihat dari bentuk komik yang sudah lecek, sepertinya Ruly masih sering membaca komik itu di usia dewasanya. Aku mencuri lihat ke sosoknya yang masih terlelap, tidak bisa membayangkan Ruly mengisi waktu luangnya dengan membaca komik.

Puas dengan penemuan itu, aku beranjak ke bagian lain. Sebagian buku yang ada di sini berkaitan dengan hukum. Beberapa sudah tampak tua, mungkin itu milik ayahnya. Aku juga menemukan beberapa novel meski tidak jauh dari hukum. Seperti novel John Grisham yang cukup banyak memenuhi rak buku ini.

Tidak ada lagi yang bisa kuperiksa, aku keluar dari kamar ini. Suasana apartemen Ruly terasa makin mencekam di pagi yang hening ini. Aku menyusuri setiap ruangan sambil mencoba mengenali sosok Ruly lebih jauh lagi,

Aku berhenti di atas rak yang berisi frame foto. Ada foto keluarga di sana dan aku langsung mengenali Ruly kecil pada sosok bocah dengan cengiran lebar. Cengiran itu tidak berubah, masih sama sampai sekarang.

Ketika mengembalikan foto itu ke tempatnya, aku tertegun saat melihat bingkai foto lain yang berada agak di belakang dan sedikit tersembunyi. Aku mengambilnya, dan saat menyadari siapa yang ada di sana, hatiku mencelos.

Perempuan itu pasti Aghnita.

Bingkai itu memuat banyak memorabilia Ruly dan Aghnita. Ada foto mereka sama-sama mengenakan seragam SMP dan SMA, lalu foto mereka saat sudah dewasa. Ekspresi Ruly selalu sama di setiap foto, terlihat bahagia dan begitu memuja Aghnita. Di foto yang lebih besar, aku seakan bisa merasakan cinta di antara mereka berdua hanya dengan melihat cara mereka saling menatap.

"Itu ulang tahun Aghni yang ke-32. Ulang tahun terakhirnya."

Aku terperanjat dan hampir saja menjatuhkan bingkai foto itu. Buru-buru aku mengembalikannya ke tempatnya semula dengan perasaan bersalah karena sudah tertangkap basah.

"Sorry. Enggak bermaksud pengin ikut campur. Gue cuma..."

"It's okay," potong Ruly. Dia mengambil foto yang tadi kulihat. "I know her for my whole life until her last breath."

Aku mencuri pandang ke arah Ruly. Ada mendung menggayuti wajahnya saat dia memandangi foto itu. Ekspresi terluka itu terlihat sangat jelas, sampai-sampai aku bisa merasakan betapa Ruly menyalahkan dirinya sendiri.

"Sejak kecil, Aghni pengin jadi pengacara. Sementara cita-cita gue pengin jadi suaminya Aghni." Ruly tergelak.

Aku memaksakan diri untuk tertawa, tapi seperti ada yang menghalangiku untuk tertawa.

"Apa yang terjadi?" Begitu saja, pertanyaan itu meluncur dari bibirku. Detik selanjutnya aku menyesali kelancanganku. Aku menggeleng, berusaha memecah suasana. "Sorry, gue udah kelewatan."

Partner with BenefitWhere stories live. Discover now