1. Glass of Vodka

108K 7K 360
                                    

"To Tyra!" Teriakan Agnes yang super kencang itu tenggelam di balik dentuman musik kencang di tengah club ini.

Aku ikut mengangkat gelas martini tinggi-tinggi, berusaha meningkahi semangat Agnes.

"Untuk ngerayain setahun menjanda."

Aku menoyor kepala Agnes, meski tidak urung aku ikut tertawa bersamanya.

Hanya orang seperti Agnes yang punya ide super gila ini. Tidak ada yang bisa dibanggakan dengan statusku, sehingga aku hanya bisa melongo saat dia muncul di kantorku dan mengajakku clubbing untuk merayakan satu tahun menjanda.

She's insane, I know it. But I love her. Kalau bukan karena Agnes, satu tahun ini pasti akan berlangsung seperti di neraka.

Butuh waktu sampai akhirnya aku bisa kembali menegakkan kepala. Di mata keluargaku, aku adalah contoh nyata sebuah kegagalan. Di setiap pertemuan keluarga, kalimat 'jangan sampai kamu bernasib seperti Tyra, ya' sudah menjadi petuah yang dibisikkan dari telinga ke telinga.

Tentu saja, keputusan menggugat cerai David ditentang oleh keluargaku. Terutama Mama, yang langsung histeris begitu aku pulang ke rumah. Banyak cara dilakukan Mama agar aku mengubah keputusan.

Hanya Agnes yang mendukungku, dan benar-benar memahami situasiku. Di saat keluargaku lebih ingin aku bertahan di pernikahan yang menyesakkan itu karena takut dengan status janda yang akan kusandang, juga karena perceraian seperti melemparkan aib ke wajah keluargaku, Agnes memberiku perspektif lain.

"What's wrong with being a widow? Single, wife, widow, it's just a title. Fuck with that if you don't happy with that title." Sampai sekarang, perkataan Agnes masih menjadi penguatku. "Selama ini lo selalu iyain apa kata keluarga lo, baru kali ini lo ambil keputusan sendiri, enggak ada yang salah dengan itu. Live for yourself, Tyra!" Nasihat Agnes yang diam-diam kujadikan sebagai mantra.

Setelah menggugat David, aku keluar dari rumah yang kami cicil berdua. Sekarang rumah itu dimiliki David, karena sejak awal semua surat-surat atas nama dia. Aku sempat pulang ke rumah orangtuaku, tapi tekanan yang mereka berikan membuatku nyaris gila. Sekali lagi, Agnes menampungku di rumahnya.

"By the way, gue udah serah terima kunci apartemen jadi gue bisa pindah dari rumah lo," ujarku setengah berteriak.

Agnes mengibaskan tangannya di depanku. "My house is yours. Lo tinggal di sana selamanya juga gue enggak keberatan."

Aku meletakkan gelas di meja dan beringsut mendekati Agnes. Aku merangkul lehernya, mendekapnya erat.

"Thank you, my Monkey. I don't know what will happen in my life without you," ujarku. She's my life saviour.

Agnes memang tidak keberatan menampungku. Namun, justru aku yang keberatan. Satu tahun sudah cukup aku menjadi benalu yang menumpang di hidupnya. Lagipula, aku rasa ini waktunya untuk move on. Aku harus bisa berdiri tegak kembali, salah satunya dengan berhenti bergantung kepada Agnes.

Agnes menepuk tanganku, memintaku melepaskan pelukan. "Jangan rusak pasaran gue," omelnya.

Aku melepaskan rangkulan, tapi tidak beranjak dari dekatnya. Tindakanku membuat Agnes menghadiahiku tatapan penuh kekesalan.

"You should go. Sana tebar jaring, siapa tahu ada laki-laki yang nyangkut."

Aku mencibir. Ini bukan kali pertama Agnes menyuruhku membuka hati. Namun sampai detik ini aku belum siap menceburkan diri ke dalam drama bernama laki-laki.

"Serius, Tyra! You should move on."

"I promise you I will move on." Aku mengangkat dua jari, berusaha meyakinkan Agnes.

Partner with BenefitWhere stories live. Discover now