32. Keterpaksaan

149 5 0
                                    

"Jika memang bukan milik kita, sekuat apapun kita memaksa, pada akhirnya dia akan tetap pergi."

19.45.

Seharian ini mulai dari berpagi diapartemen Reino dengan dua temannya yang menyebalkan sekaligus menjengkelkan, lalu telat sekolah dan berkeliling lapangan sepuluh kali ditambah tertidur dijam pelajaran Matematika dan mengharuskan Fay memebersihkan semua toilet disekolah memantapkan Fay untuk mengecap hari ini adalah hari sial baginya.

"Dih amit-amit." ucapnya menarik pikirannya.

"Hari ini kan gue ketemuan sama keluarga Reino. Yakali sial?" ucapnya menggeleng sambil memperhatikan lapangan basket yang tampak penuh dengan mayoritas cewek-cewek nekat itu lagi.

"Makin lama makin ngelunjak aja ya?" Fay menggeleng tersenyum sinis.

Fay merenggangkan telapak tangannya, gadis ini sedang duduk dipohon rindang. Pemandangan yang sumpek membuatnya rindu aksi lamanya.

Kini Fay bangkit dengan cepat, menegakkan dirinya lalu menyibakkan rambut ombre ash grey nya. Menatap kedepan lalu berjalan dengan wajah penuh kesalnya mendekati gerumbulan itu.

"Cantik banget hiks."
"Tinggi banget heran, kira-kira jungkir balik berapa kali ya sehari?"
"Tangannya lentik banget saking hobby namaparin pipi anak orang."
"Colokan mana colokan, pengen gue colok."
"Minggir, minggir, cewek good looking lewat."
"Teposd—."
"Cewek gue nih."
"Banyak bacot!"
"Fix milik bersama."

Fay melewati mereka, menarik salah satu tangan gadis yang ia perhatikan menyorak dan begitu memperhatikan Reino.

*Sret...

"Maksud lo ngelihatin—."

"Anzela?" Fay mengerjap beberapa kali, mendapati gadis itu menyingkap topi hitamnya.

* * *

Fay meremas kertas putih berisi coretan dari tinta yang sudah tak lagi rapih itu, Fay membuangnya asal bersamaan kesal yang membuatnya mendegus habis-habisan.

"Gimana bisa? Gimana bisa lo nyuruh gue lupain setelah semua itu udah kejadian?" ucap Fay menggeram.

Anzela pergi, gadis itu benar-benar hanya meninggalkan surat sebelum Fay hendak memukulnya tadi.

"Gue minta maaf, lupain semua hal tentang persahabtan kita, tentang perilaku gue yang jahat. Gue mau lo bahagia tanpa gue yang selalu ganggu kebahagiaan lo."

"Lo harus sama Reino, dia cinta sama lo."

"Gue nggak bisa disini lebih lama, sekarang. Gue pamit ya, Fay."

"Take care!"

Fay terduduk, memikirkan betapa mirisnya gadis itu bersembunyi hanya untuk melihat Reino, sosok yang begitu ia cinta.

Memikirkan beberapa kalimat yang Anzela keluarkan, Fay terputar memori itu. Sekuat apapun ia semalam menahan. Namun sayang, rasanya sekarang Fay merindukan keramain itu.

Anzela, Fay dan Vania. Geng yang rusuh dan menyenangkan.

"Gue minta maaf juga Zel."

"Makasih, udah pernah ada dihidup gue. Gue harap kita bisa ketemu." ucap Fay menunduk, tak ada yang perlu ia sesali.

Sungguh Fay yakin akan ada waktu untuk memulainya kembali, menyadari ini hanyalah masalah situasi yang perlu dijalani sekarang.

Stagnation (Completed)Where stories live. Discover now