31. Sebuah Keinginan

138 5 0
                                    

"Terkadang masa lalu itu hanya terlintas untuk mengingatkan sebuah kenangan yang bermakna namun terlupakan."

"Masih sakit? Badan kamu panas..." Theo— Ayah Anzela begitu mengkhawatirkan puterinya ini, gadis yang berubah drastis beberapa minggu terakhir.

Anzela mengigil, gadis itu terus menyebut nama Reino, sesegera mungkin Theo menelfon Diestiro.

"Hallo—."

"Anzela sedang sakit, dia benae-benar menyebut nama Reino. Saya harap anda perhatian kali ini, tolong percepat semuanya, perjanjian itu ada dikeputusan kali ini."

"H-hallo?! Pak Diestiro?!"

"Pa...." Anzela memanggil dalam ketidaknyamanan tubuhnya.

Theo menutup ponselnya dan berlari kearah ranjang putrinya. "Papa pastian kamu say Reino bakal tunangan—."

"Anzela mau Reino bahagia—Uhuk... Uhuk..."

"Kita bukan buat dia, ini cuma urusan perusahaan yang kebetulan ngelibatin kita yang suka sama Reino Zel, kita nggak pantes ngerusak hubungan mereka... Gue mohon, Fay udah terlalu sakit dari masalalunya, dia cuma punya Reino. Lo nggak harus kayak gini buat menangin keegoisan lo? Ngerti?" ucap Alea mengotot meminta perhatian.

"Anzela nggak mau ganggu Reino lagi... Anzela muak Pa... Jauhin dia dari hidup Zela!" ucap Anzela menutup telinga dan memejamkan matanya.

Gadis itu semakin gemetar, pikirannya berantakan menghadirkan banyangan yang membuatnya nyaris gila.

"Semua ini percuma Pa! REINO NGGAK AKAN SUKA SAMA ANZELA—." teriak Anzela bangkit dari baringnya dan membanting semua album foto Reino yang ada di kamarnya.

Theo terkenjut berlari menghampiri Anzela yang meraung-raung menangis. Satu persatu album itu memecah dalm hitungan detik.

"ANZELA STOP SAYANG!" Theo mulai panik.

Anzela menjatuhkan tubuhnya, gadis itu menangis dan memukul-mukul kepalanya.

"Anzela mau pergi lagi Pa."

* * *

"Gue duluan ya, nanti bales chat gue! Awas lo balesin dedemit gatel. Pokoknya jangan kemana-mana!"

"Yaudah sana, gue bawa mobil juga, ngapain ribet sih!" kesal Fay.

"Malem gue ada acara sama—."

"Nanti malem gue juga mau jalan sama Vania." potong Fay memberitahu.

"Oke kita impas, jangan ada laki-laki." ucap Reino menujuk wajahnya.

"Kok—." Fay mengaruk kepalanya yang tidak gatal.

Reino melotot, sungguh? Sejak kapan ia melarang Fay untuk tidak bertemu dengan lelaki lain? Kenapa ia menjadi berlebihan seperti ini, sial! Memalukan.

"Maksud gue, terserah sih lo mau jalan sama siapa, sama anak Paud kek, orang sedeng kek, serah." ucap Reino berbalik menuju mobilnya yang diatas kacanya yang sudah terhias dengan tempelan tidak jelas.

Biasa gadis nekat itu pasti selalu menulisnya.

"Ok!"

* * *

22.30.

Fay memandangi ponselnya, ia baru saja mengirimkan pesan untuk Alea, Chalistha, Stefani dan Vania.

Stagnation (Completed)Where stories live. Discover now