"I-iya."

"Kapan?"

"Kemarin pagi."

"Apa isi pesannya?"

Tidak langsung menjawab Gemi, malah balik menatap Dj seolah tidak senang ditanya demikian. "Memangnya kenapa ya?"

"Jawab saja!"

"Itu termasuk informasi personal dan aku punya hak untuk tidak menjawab."

Mengepal tangan Dj menahan amarah. Melihat itu, Ilman langsung ikut masuk pembicaraan. "Betul memang kau tidak harus menjawab. Hanya saja—ah, coba aku jelaskan dari awal ya! Kami sebetulnya sedang menyelidiki kasus ancaman penganiayaan ini, kebetulan kau juga jadi target, kan? Nah, kami di sini untuk memberikan peringatan dan berusaha menyelamatkan, sekaligus menangkap pelaku—kalau bisa. Untuk itu, kami butuh informasi untuk pengembangan penyelidikan, jadilah—"

"Maaf, Kak. Kalau butuh bantuan, yakinlah aku akan segera melapor pada polisi. Untuk sekarang, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Aku harus kembali ke kelas."

"Nyawamu itu sedang terancam! Pelakunya tidak sedang main-main, dia benar-benar akan membahayakan hidupmu!"

"Terima kasih atas peringatannya, Kak. Aku akan baik-baik saja."

"Tidak, bukan karena itu. Kau merasa baik-baik saja bukan karena alasan itu, tapi karena kau yakin kalau pelaku tidak akan datang lagi kepadamu."

Ikutnya Tasya dalam pembicaraan malah membuat Gemi makin panas. "Sedikit-banyak memang aku kurang percaya dengan ancaman pesan kaleng itu. Bisa jadi yang mengirim—"

"Bukan, bukan seperti itu alasannya. Ya, tapi karena pelaku sudah dapat apa yang dia inginkan," Gemi langsung melotot, sebuah tindakan langka karena jarang ada siswa yang berani begitu pada Tasya. "Kau tahu, kami ini sedang mencoba untuk menolongmu—seharusnya bukan seperti itu respon yang kau berikan. Yah, bisa dikatakan 'usaha tegas untuk menolak menjawab' bukan tergolong respon yang wajar kau berikan."

"Maksudnya apa sih, Kak? Respon wajar apa? Hidupku ini loh ya--terserah aku kan mau bilang atau tidak?"

"Layaknya hewan, manusia juga punya insting," Tasya mengetuk meja tiga kali dengan buku jari. Mendengar itu Ilman dan Dj langsung mengerjap, menoleh pada dia yang kini tertawa kecil, menatap Gemi dengan gaya sang kapten yang sangat mereka kenali. "Menurutmu, apa insting paling tajam dari manusia, Gem? Reproduksi? Makan? Bukan, jawabannya adalah: bertahan hidup. Dan fakta kalau kau menolak cepat bantuan yang ditawarkan tanpa perlu repot-repot mendengar merupakan sebuah abnormalitas yang tentu beralasan. Kau merasa aman karena sudah memberikan apa yang pelaku inginkan."

Gemi diam seribu bahasa. Bingung, marah, gugup—bercampur jadi satu di wajahnya. Melihat itu, Tasya langsung memalingkan muka—sedang sekuat tenaga menahan tawa menghadap Ilman dan Dj.

"Yang pelaku inginkan?" ulang Ilman dan Tasya langsung kembali serius menegapkan badan. "Berarti—" telunjuk Ilman menghadap Gemi. "—kau sudah memberi uang kepada pelaku?"

"Emm—itu, a-aku ... bu-bu—"

"Bangsat! Jawab yang betul!" Dj kembali memukul meja. "Ba bi bu ba bi bu—memangnya kau anak TK yang sedang belajar membaca?!"

"I-iya betul! Aku membayar pelakunya!"

"Gimana cara kau bayar?!"

"Pa-pakai duit, Kak!"

"Lah emang iya! Tidak mungkin juga pakai sempak bapak kau! Ah, kusiram juga kau lama-lama!"

Dj meraih botol minum Tasya di atas meja, betulan hendak menyiram kalau tidak lebih dahulu direbut Ilman. Dengan tenang Ilman coba meluruskan, "Maksudnya adalah—bagaimana caramu memberikan uangnya ke pelaku?"

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now