03.3 | Asmaradahana

2.7K 196 8
                                    

03.3
Asmaradahana



Wonosari, Gunungkidul
Masih sekitar akhir Mei 2008
Setelah kemunculan Gana di lapangan basket

Tama memarkir motornya dengan malas ketika pagi itu ia sampai di parkiran belakang sekolah yang masih sepi. Ia berangkat ke sekolah terlalu pagi meski hari itu mereka tak ada upacara bendera. Parkiran masih lengang. Hanay ada beberapa motor yang terparkir secara acak. Tama berjalan gontai meninggalkan parkiran, melewati deretan ruang kesenian. Dan dia saat ia menoleh ke arah ruang seni rupa yang pintunya terbuka pagi itu, ia mendapati Surya sedang duduk menatap ke arah luar jendela besar di sampingnya. Ia terlihat sedang melamunkan sesuatu. Di hadapannya, kanvas berukuran sedang masih kosong, menunggu untuk dilukisi.

Surya menghela napas setelah melihat awan-awan yang berarakan. Hari masih pagi. Ada sedikit dingin kabut yang tersisa diantara hangat matahari pagi. Ia mengalihkan pandangannya dari jendela ke arah pintu masuk. Sejenak ia terdiam mendapati Tama berdiri termangu di depan pintu ruang seni rupa. Tatapan mereka bertemu. Ia merasakan sebuah hentakan di dalam perutnya. Dada kirinya berdebar. Ombak bergumul di perutnya.

Surya menelan ludah susah payah. Ia lalu memutuskan kontak mata yang hanya sekejap itu. dengan gugup, ia mulai mengeluarkan alat-alat lukis yang ada di kotak kayu perkakas miliknya, yang biasanya ia tinggal di samping kursi tempatnya melukis di workshop seni rupa itu. Barusan, ia memikirkan Tama dan juga kemunculan Gana kemarin sore, dan adegan yang terjadi ditengah-tengah permainan basket mereka. Sebuah adegan, yang selama ini ia anggap hanya terjadi di sebuah film remaja.

Sementara itu, Tama melangkah masuk ke dalam workshop itu tanpa menyadari suatu keanehan apapun dari perilaku Surya pagi itu.

"Hai." Sapa Tama sembari memasuki workshop seni rupa. "Pagi amat." Lanjutnya.

Surya terkekeh gugup.

"Hm, nggak juga sih. Habisnya terlanjur bangun pagi." Jawab Surya masih sibuk dengan alat-alat lukisnya.

Tama mengangguk paham sambil menikmati lukisan dengan berbagai ukuran yang menggantung di sisi dinding tak berjendela. Kursi-kursi ditata melingkar dan dihadapan kursi itu, beberapa kanvas berdiri pada rangka, lukisan-lukisan yang sepenuhnya belum diselesaikan. Beberapa rangka kosong tanpa kanvas. Kursi-kursi yang ada di workshop itu terlihat tua dan using. Beberapa bangku telah rusak. Meja-meja dipinggirkan ke sisi ruangan, menempel dinding. Di atas bangku-bangku itu banyak kotak-kotak kayu berbagai ukuran berisi perkakas lukis dan kriya, begitu natural tidak tertata.

"Kamu sendiri kenapa berangkat pagi?" tanya Surya setelah ia merasa jeda yang terlalu lama.

Tama menoleh ke arah Surya, terkejut dengan pertanyaannya itu. Ia lalu membuang muka seolah sedang berpikir mencari jawaban yang tepat.

"Hm, kenapa ya?" tanya Tama balik lalu tertawa hambar.

"Heh, apa sih? Nggak jelas banget." Jawab Surya mengernyit tak mengerti. Dan Tama benar-benar tertawa melihat ekspresi wajah Surya yang kebingungan dengan jawabannya tadi.

Akhirnya, mereka berdua terjebak dalam sebuah percakapan yang begitu mengalir. Tak ada topic pasti dari pembicaraan mereka. Keduanya terlihat menikmati percakapan mereka. Namun, dalam diri masing-masing, ada perasaan segan untuk menyinggung apa yang terjadi kemarin sore. Tama bersyukur, Surya tidak mengangkat topic mengenai apa yang terjadi di tengah-tengah pertandingan basket mereka.

Sementara Tama yang terlihat biasa-biasa saja seolah seperti tak terjadi apa-apa kemarin sore, malah membuat Surya heran. Baginya, ia baru sekali itu melihat Tama kalap. Tama biasanya, yang tidak pernah marah, yang selalu tenang dan terlihat mampu menguasai keadaan apapun itu ternyata bisa mengamuk juga. Diam-diam Surya iri. Ia baru sekali itu melihat sisi lain Tama. Pun, dalam hatinya, ia juga tak mau menyinggung perihal kemarin sore. Karena itu berarti, ia akan mengungkit topic Gana kedalam percakapan mereka.

JARAK [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang