03.2 | Sasmita Awang-awang

2.5K 219 19
                                    

03.2
Sasmita Awang-awang*



Wonosari, Gunungkidul
Sekitar akhir Mei 2008
Setelah UAN


Tama terbangun pagi itu. Jam kamarnya masih menunjukkan pukul 4.29. Subuh. Ini hari minggu, dan ia ingin kembali tidur, tapi tak bisa. Ia bangkit dari tempat tidurnya lalu berjalan menuju jendela. Ia sibakkan gorden putih dan mendapati kota masih tertidur, berselimut bayang-bayang biru malam. Langit masih gelap, sedikit semburat jingga di cakrawala.

Ia beranjak menuju meja belajarnya lalu menyalakan lampu di atasnya. Ia terdiam sejenak lalu mengambil jurnalnya, dan mulai menulis. Akhir-akhir ini, ia suka menulis prosa. Kebanyakan, adalah soal perasaannya.

Aku bermimpi, berdiri di pinggir sebuah telaga yang luar biasa jernihnya. Lalu aku berperahu diatasnya. Kabut tipis saja. Nun jauh di sana, hutan kelam dengan latar pegunungan. Langit begitu cerah. Biru dan semburat jingga di horizonnya. Aku tak tahu apakah ini sesudah pagi atau menjelang petang. Semuanya begitu samar.

Perahu yang aku naiki itu seolah mengambang diatas telaga. Tak ada riak, tak ada gelombang. Aku melihat ke dalam telaga. Telaga itu begitu dalam, dasarnya tak dapat aku sebutkan. Tetiba, aku dilanda perasaan nestapa yang tak terkira. Dan aku ingin tenggelam ke dalamnya, telaga itu.

Lalu, tiba-tiba permukaan telaga itu mulai berriak. Dan perahuku bergerak. Saat sadar, aku sedang terbawa sebuah arus gelombang yang luar biasa dasyatnya. Telaga itu seolah terusik. Ombak itu menerjang perahuku.

*

Saat membuka mata, ia sedang berdiri di lapangan basket yang sering mereka pakai untuk bermain basket. Tapi entah mengapa, dalam pandangannya, lapangan itu terasa begitu suram. Lantai lapangan basket itu rusak, retak oleh rerumputan yang menerobos. Daun-daun gugur berserakan. Pagar tanaman rumah Janu sudah lama tak di pangkas. Pohon dan ranting membeku, bahkan rumput. Angin diam. Awan berhenti berarakan. Langit terlihat abu-abu semburat biru. Dan matahari masih tetap bersinar, tapi ia tak dapat merasakan apa-apa. Senyap. Begitu senyap dan janggal. Seolah, waktu sesaat terhenti.

Ia berjalan ke tengah lapangan, celingukan mencari seseorang. Tapi tak ada siapapun yang muncul, tak ada siapapun. Tempat itu kosong, begitu kosong dan janggal. Lalu tiba-tiba ia merasa seseorang berada di belakangnya. Dan ia menoleh. Ia mendapati seseorang yang tak pernah ia temui berdiri di sana. Tapi ia mengenal orang itu. Seseorang itu tersenyum sedih ke arahnya.

Lalu tiba-tiba, semuanya menjadi sepia. Pemandangan itu terdistorsi. Ia seolah tersedot pada suatu titik.

"Dik, kenapa kok nggak diterusin makannya?" ujar ibu Anggit yang menyiapkan piring untuk  ayah Anggit. Ia menatap putra semata wayangnya itu dengan tatapan heran. Tiba-tiba ditengah makannya, anaknya terdiam selama mungkin dua detik dan terlihat tak fokus.

Anggit melihat ibunya dengan linglung. Ia menatap makanan di hadapannya. Ayam goreng kesukaannya terlihat masih setengah selesai di makan. Nasi di tangannya baru saja akan ia cocolkan ke sejimpit sambel bawang yang juga ada di piringnya. Di luar sana, awan berarakan memberi keteduhan di teriknya matahari siang hari.

Lalu ia sadar sesuatu. sedetik lalu, ia mengawang.

"Oh, enggak kok bu." Ujarnya lalu menyuapkan nasi lalu menggigit ayam gorengnya.

"Bu, nanti aku mau nginep tempat Janu ya. Temen-temen ngajakin basketan sore ini dan besok ada tugas yang harus dikumpulkan." Kata Anggit setelah menelan makanannya.

JARAK [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang