07 | Menuju Akhir

2.5K 197 187
                                    


07
Menuju Akhir



'There is no future in nostalgia' - Arthur Yap


*

Wonosari. Gunungkidul.
Hari reuni pasukan Kasukabe dan yang lainnya. Juni 2017.


Sore menjelang dan Surya menjadi gugup ketika sekali lagi melemparkan pandangan ke sekeliling halaman belakang Janu untuk yang kesekian kalinya. Orang yang ia tunggu-tunggu tidak juga muncul. Kecemasan membuatnya sekali lagi mengusapkan telapak tangan di tengkuk belakangnya yang pegal. Apa mungkin kali ini seseorang itu yang memilih untuk balas dendam dan tidak muncul? Pesan yang ia tinggalkan di kotak obrolan itu telah dibaca, tetapi nyatanya tidak dibalas. Ia sedikit sakit hati karena sikap orang itu yang mungkin saja masih kekanak-kanakan seperti dulu. Surya mengulum senyum mengingat bagaimana ekspresi perempuan yang belum bertumbuh dewasa itu dulu menghardiknya ketika Surya tak sungguh-sungguh bermain basket bersama.

Oh, betapa ingatan begitu lekat lebih dari kata-kata. Bahkan setelah sekian tahun, sekian hal terjadi dan dunia berputar, ingatan Surya kembali lagi ke masa-masa itu. Masa di mana ia masih begitu keras kepala, begitu pengecut, begitu pasrah pada cinta yang ingin sekali ia perjuangkan, hanya karena bayangan orang lain yang terus menghantui ia dan juga perempuan yang menggenggam hatinya sekian lama. Kalau ada seseorang yang bertanya mengapa seseorang dapat tetap mencintai orang yang sama meskipun telah saling melukai satu sama lain, Surya pun tak tahu jawabannya.

Ia juga tidak mengingkari bahwa setelah kejadian itu, ia beberapa kali bertemu dengan perempuan yang menggerakkan hatinya. Tetapi lagi-lagi entah mengapa ruang yang dihinggapi kenangan dan perasaannya akan satu orang itu tak bisa dilampaui oleh perempuan-perempuan lain. Dan akhirnya, ia kembali di titik yang sama, ketika di awal tahun ini, Surya nekat terbang ke Jakarta untuk melihat pertunjukan sendratari yang diikuti perempuan itu.

Hari itu ia memastikan sesuatu. Meski perempuan yang menari jauh di panggung depannya itu telah berubah menjadi matang dan semakin menarik karena liat tubuh dan kedewasaan wajahnya, Surya tahu, perasaannya masih sama seperti ketika pertama kali dalam hidup Surya, Surya melihat bidadari jatuh di hadapannya, menari gambyong di aula SMA mereka. Detik itu, Surya tahu baik sekarang maupun dirinya yang dulu, lagi-lagi jatuh cinta pada perempuan yang sama.

"Hei, Surya. Tolong dong kau tanyakan ke simbok di dapur, areng yang kubeli tadi ditaruh dimana? Soalnya ini sudah mau habis." Ujar Janu sembari mengecilkan kipas angin di samping meja panggang.

Surya berdecak malas. Sebenarnya Janu bisa saja menyuruh orang lain yang juga sedang menganggur. Tetapi sifatnya yang bossy dan suka memerintah Surya itu ternyata tak berubah. Entah disengaja atau tidak tetapi Surya akhirnya bangkit dari duduknya dan menjatuhkan rokoknya yang sudah habis tinggal puntung saja lalu menginjakknya.

Surya berjalan menuju teras belakang rumah Janu melewati beberapa temannya yang mengobrol santai. Teras belakang itu hanya dipisahkan oleh pintu saja hingga ia mencapai dapur. Ruangan itu kosong membuat Surya menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal sambil melemparkan pandangan balik ke teras luar. Dari jendela dapur yang terbuka lebar menuju ke teras, ia bisa melihat teman-temannya mengobrol dan bercanda. Sangat kontras dengan suasana dapur yang lengang. Surya akhirnya mengitari ruangan itu dan mencari bungkusan arang yang dicari Janu. Hingga kemudian dari arah ruang depan, Surya mendengar samar suara-suara yang tak asing.

"Mbak, mbak, kok yo tumben teko keri. Kae lho wis do dilekasi ket mau. -Mbak, tumben datang belakangan. Itu udah pada mulai dari tadi lho."

Suara perempuan tertawa masuk ke telinga Surya membuat Surya terdiam mempertajam telinganya.

JARAK [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang