04.3 | Tatap Muka

2.4K 209 18
                                    

04.3
Tatap Muka



Depok
Awal tahun 2010


Sebenarnya, setelah Tama kembali ke perpustakaan untuk mencari buku catatannya dan tak menemukan buku itu dimana-mana, ia telah menyerah, merelakan mungkin saja buku itu jatuh di jalan dan telah ditemukan oleh tukang rongsokan. Hal ini juga semakin menguatkan tekadnya bahwa hal-hal yang ditulis di dalam buku itu mungkin memang harus diakhiri, tanpa ada lagi keinginan dan kesempatan untuk mempertanyakannya lebih jauh lagi, dan juga menuntut jawaban atas pemikiran-pemikirannya. Mungkin juga, dewata mendengarkan gumamannya suatu ketika dan memberikannya sebuah pertanda ilahiah, bahwa perasaannya itu harus diakhiri karena berasal dari ujung yang tak jelas. Toh, jarak juga sudah terlanjur jauh. Maka, Tama pun telah mengganti bukunya itu dengan buku catatan tak bergaris yang serupa dengan bukunya yang hilang. Hanya saja, kali ini buku itu berwarna ocre.

Jadi, sesungguhnya ia sangat terkejut, manakala setelah seminggu lebih buku catatannya itu menghilang, buku itu malah kembali kepadanya bersama dengan sebuah pesan tulis tangan yang mengatakan bahwa laki-laki yang mengembalikan bukunya itu, telah membaca semua tulisan yang ia buat di buku catatannya. Lalu setelah keterkejutan itu menghilang, muncullah berbagai perasaan yang bercampur di dalam dirinya. Awalnya ia merasa kaget dan marah, karena berani-beraninya orang itu membuka buku catatannya. Lalu kekesalannya itu berganti menjadi gelisah karena seseorang yang begitu asing telah membaca tulisan-tulisannya sampai tuntas, tak pernah ada orang asing yang secara terang-terangan menginvasi ruang yang tak pernah ia bagi dengan orang-orang di sekitarnya, teman-teman terdekatnya sekalipun tidak. Kegelisahan itu berubah menjadi malu, karena orang itu telah mengetahui hal yang ia ingin tutupi rapat-rapat. Orang asing itu serasa telah melihatnya telanjang di jalanan. Lalu rasa malu itu berubah menjadi perasaan takut akan apa yang muncul dalam benak si penemu buku itu mengenai dirinya. Ia tak ingin seorang pun merangsek masuk ke dalam perasaannya, membacanya, dan memandangi sisi dirinya yang rapuh. Ia benci terlihat rapuh!

Lalu, terbayanglah sebuah bola mata yang indah dengan warna yang aneh. Dan sebuah wajah seorang laki-laki yang berdiri di bawah tiang lampu jalanan.

Tama sebenarnya sama sekali tidak mengenal laki-laki yang telah mengembalikan buku catatannya dan mengakui bahwa telah membaca semua tulisan Tama. Tetapi, Tama tahu siapa laki-laki itu.

"Namanya Yudha, Tam." Ujar bang Alex suatu ketika di Lokamandala. Laki-laki yang pernah ia tabrak di perpustakaan, di hari ia kehilangan bukunya.

*

Sudah menjadi rutinitas bagi Tama untuk pergi ke perpustakaan setiap hari. Alasannya karena ia tak menemukan tempat lain yang membuatnya tenang. Kampusnya itu terlalu hiruk pikuk oleh orang-orang asing yang datang dari berbagai penjuru nusantara. Sementara ia merasa begitu sendiri di tempat yang ramai itu, dan orang-orang di sekitarnya yang entah mengapa seolah sudah kenal satu sama lain, saling mengobrol hal-hal yang ingin dihindari Tama. Ia ingin melarikan diri dan tak memberikan kesempatan seorang pun untuk mengajaknya berbicara setiap kali selesai kelas.

Tapi ternyata, perpustakaan kampus selalu ramai, terlalu ramai. Ia agak heran juga mendapati tempat yang biasanya sepi di SMAnya itu ternyata malah banyak dikunjungi orang. Ah, pasti karena wifi gratis! Meski demikian, ada satu bagian yang tak banyak orang pergi kesana. Yaitu di bagian kajian sastra dan budaya serta antropologi selalu menjadi sudut tempat Tama menyepi. Tak lama ia jadi menyukai tempat itu. Pasalnya, deretan bangku yang ada di dekat jendela selalu kosong. Dari jendela itu, ia dapat melihat deretan pepohonan yang mengelilingi perpustakaan. Dan entah mengapa ia seperti mendapati dirinya sedang duduk-duduk di rumah pohon di lapangan basket belakang rumah Janu sembari menunggu senja.

JARAK [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang