05.4 | Wibrama

1.9K 179 79
                                    

Bab 05.4
Wibrama



Ia membuka mata dan mendapati dirinya berdiri di muka tebing. Di bawah tebing itu, ombak berdebur menabrak dinding batu karang hitam. Angin menderu dengan hebatnya, menggoyangkan rumput-rumput di lembahan itu. Tetapi entah mengapa, semua suara ombak dan angin yang bercampur jadi satu itu seperti terdengar dari jauh. Seperti badai yang tak kunjung datang.

Tiba-tiba ia menyadari ia tak sendiri. Ia menoleh ke arah kanannya secara perlahan dan mendapati Surya dengan wajah pucat yang dipenuhi kesedihandan penyesalan menatap ujung tebing seolah-olah sedang berpikir antara mau melompat atau tidak. Sadar sedang diamati dari samping, Surya lalu menoleh ke arahnya. Saat mata keduanya bertemu, ekspresi Surya berubah jadi sendu dan mendamba, seolah kerinduan menghinggapinya tiba-tiba. Tapi entah mengapa ia sadar, bukan ia yang sedang Surya tatap. Tetapi sesuatu –seseorang- yang ada dibalik punggungnya. Perlahan, ia membalikkan badan dan mendapati Tama menatapnya sambil mengulum senyum yang ia paksakan. Mukanya terlihat sayu dan kurang bersemangat. Kesedihan menggelayuti sorot matanya.

Mendadak, dunia seperti berputar. Dan suara ombak serta angin yang bergemuruh dari jauh itu berganti. Dalam satu kibasan tangan, ia mendapati Tama sedang berdiri di sebuah persimpangan jalan yang begitu familiar. Di belakangnya lalu lintas malam dan pertokoan yang ramai. Jalanan dipenuhi oleh orang-orang lalu lalang dan berfoto-foto. Sebuah pagar dan rel kereta di antara pagar itu menghalangi Tama dan dirinya berada. Tama masih dengan ekspresi yang sama tengah menatapnya.

"Anggit." Ujar Tama lalu menyunggingkan senyum.

Detik itu juga, sebuah kereta melaju di atas rel yang memisahkan keduanya berada.

*

Sebelumnya,
Sambungan telepon Tama dan Surya
Depok, 2010



"Mari hentikan semua ini." Kata Tama dengan suara yang tercekat.

"Tama, tolong jangan lakukan ini." Ujar Surya dengan suara parau.

Ada yang tersangkut di kerongkongan Tama. Perasaan yang meluap-luap memenuhi dada dan pelupuk matanya. Kebahagiaan yang didamba-damba dan kesedihan yang mencekat dada datang bergantian. Tetapi, banyak orang yang tersakiti bersinggungan dengan kebahagiaan dan kesedihan itu. Mungkin mengakhiri ini semua berarti membebaskan orang-orang itu dari luka. Mungkin dengan begitu, mereka berdua akan berhenti saling menyakiti satu sama lain, dan orang-orang disekitar keduanya. Tama tak butuh bantuan siapapun untuk mencapai kebahagiaannya, apalagi dengan mengacaukan kebahagiaan orang lain. Tidak seharusnya Kikan marah terhadap Jay. Tidak seharusnya masalah Tama dan Surya merusak hubungan Kikan dan Jay. Di perjalanan pulang di kereta, Tama sudah sepakat dengan dirinya sendiri. Jika memang sang Hyang memutuskan untuk mempersinggungkan jalur kehidupan keduanya, pada suatu titik di perjalanan, mereka mungkin akan bertemu lagi. Tapi entah itu kapan.

"Tama, please." Ujar Surya. Ulu hati Tama terasa nyeri mendengarkan suara Surya itu. "Berikan aku satu kesempatan lagi."

Tama menggeleng seolah Surya bisa melihatnya.

"Ini semua salahku, Surya. Aku yang menggiringmu sampai pada saat ini, menggiringmu hingga kau memiliki perasaanmu saat ini." Tama menarik napas. Sementara itu Surya menelan ludah susah payah untuk menemukan suaranya yang tercekat tiba-tiba atas pengakuan Tama.

"Aku ingin semua orang bahagia. Aku ingin kau bahagia. Dan ini adalah pertanggung jawabanku atas kesalahan yang aku buat di masa lalu, terhadap semua orang, terhadapmu."

"Tama, please."

Sambungan terputus begitu saja.

"Tam? Halo? Tama?" ujar Surya lalu menjauhkan Handphone-nya dan melihat sambungan itu telah terputus sepenuhnya. Karena masih ingin berbicara dengan Tama, Surya mencoba untuk menelepon Tama. Tetapi sebanyak apapun Surya mencoba, telepon itu tak pernah diangkat oleh Tama. Merasa frustasi, Surya mengacak-acak rambutnya. Perasaan sedih, tak terima, dan marah bercampur jadi satu membuat rasa frustasi yang tak terelakkan.

JARAK [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang