06.4 | Tempat dimana Semua Hal itu Berawal

2.3K 176 103
                                    


06.4
Tempat dimana Semua Hal itu Berawal



Jogja.
Menjelang Natal. Desember 2010.


Sangkring Art Space malam itu ramai dipenuhi oleh para seniman dan penonton pameran yang berbaur menjadi satu. Galeri itu milik Putu Sutawijaya, senian Bali yang menjadikan Jogja sebagai basecamp tempatnya berkarya seni. Sebuah pameran kolektif bertajuk 'Jaba' oleh para seniman-seniman Bali yang telah lama tinggal di Jogja menjadi pagelaran malam itu. Kata 'Jaba' dalam bahasa Bali berarti di luar. Dalam kaitannya dalam system kasta, maka kata Jaba merujuk pada golongan diluar Triwangsa. Pada masa penjajahan Belanda, perselisihan antara Triwangsa dan kaum Jaba, sebenarnya adalah salah satu usaha Belanda untuk melakukan politik pecah belah, dengan melanggengkan system kasta sebagai perpanjangan tangan Belanda dalam mengatur kekuasaan dan politik di tanah Bali. Pemerintah kolonial Belanda amat memanjakan Triwangsa dalam hal jabatan ataupun pendidikan. Anak-anak Jaba tak boleh menempuh pendidikan di sekolah milik Belanda. Akibatnya, anak-anak Jaba ini lebih banyak sekolah di Jawa sehingga berpikir lebih terbuka dan progresif. [1]

Bagi para seniman Bali yang bersekolah di ISI Jogja dan yang pada akhirnya memutuskan untuk terus berkarya di Jogja, ada sekilas anggapan bahwa mereka ada orang-orang Jaba, anak-anak yang memutuskan untuk keluar griya, keluar Bali untuk melakukan sebuah tindakan progresif dengan menyambut budaya yang berbeda dari asal usul mereka. Dan pameran ini, adalah sebuah upaya untuk menunjukkan seberapa jauh mereka tetap 'Bali' meski telah menjadi bagian dari 'Jawa'.

Tama melihat ayahnya sedang mengobrol dengan rekan-rekannya dalam bahasa Bali yang tak ia mengerti. Ibunya juga telah hilang dari pandangan, mungkin menemui temannya yang datang ke acara malam ini. Tama merasa asing sekali malam itu dikelilingi oleh orang-orang yang berdatangan, silih berganti berjalan di hadapannya untuk melihat-lihat karya lukisan dan patung. Tama sesekali melihat jam tangannya merasa tak sabar. Ia ingin lekas pulang ke rumah.

Ibu Tama menghampiri anaknya yang terlihat kusut dengan senyum yang dikulum. Ia tahu bahwa anaknya itu masih terlalu lelah karena baru sampai di Jogja siang tadi dan lansung diajak untuk ikut acara pembukaan pameran ayahnya.

"Ibuu, acaranya masih lama ya?" tanya Tama dengan nada merajuk dan mulut yang merengut sambil menyandarkan kepalanya ke pundak ibunya yang duduk di sampingnya. Ibu Tama terkekeh melihat anak tunggalnya yang manja malam itu.

"Kenapa? Kamu sudah ngantuk?" tanya ibunya pura-pura tidak mengerti anaknya yang sedang tidak berminat untuk bersosialisasi dengan siapa pun.

Tama mengangguk singkat lalu menegakkan kepalanya lagi. "Aku boleh pulang duluan nggak?" tanya Tama dengan tatapan memelas. Ibunya menghela napas lalu melirik ke arah suaminya yang sedang tertawa akibat kelakaran seorang teman bule-nya.

"Pamit ayah, sana. Ibu pesankan taksi dulu." Ujar ibunya sambil menunjuk ayah Tama dengan dagu dan kerling matanya. Tama menghela napas dengan berat hati. Ia pun bangkit dari duduknya dan menuju ayahnya yang masih asyik mengobrol.

Setelah pamit kepada ayahnya, Tama pun menghampiri ibunya yang menunggu di bagian depan galeri. Sebuah taksi baru saja masuk ke area drop off. Tama pun dengan lemas mencium tangan ibunya lalu beranjak masuk ke kursi penumpang.

Ketika taksi itu melaju keluar dari pelataran Sangkring, dua orang yang baru saja turun dari motor itu menatap lampu belakang taksi yang menyisakan jejak warna merah sepanjang aspal. Salah seorang dari mereka langsung melengos dan berjalan menuju pintu masuk galeri. Sementara itu, yang seorang lagi terlihat berpikir dalam diam langkahnya menyejajari teman yang telah mendahuluinya.

JARAK [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang