Epilog

6.3K 256 255
                                    

Play the music along you read this chapter. Enjoy. ;)

----

Epilog
Before the Podium

"The art of trusting is a war between your heart and what you know" – Feast, Firewoodisland

---

Peliatan, Ubud,
27 September 2017
Pagi di hari pertama prosesi adat yang panjang

Tama duduk di kamarnya dengan perasaan yang tak menentu. Ia berulang kali mengerling jam tangan yang tak ia kenakan. Segala dandanan dan tetek bengek melarangnya untuk mengenakan jam tangan hanya untuk diganti dengan gelang emas yang terasa berat ditangannya. Ia melirik pantulan dirinya di cermin besar yang menghadap ke arah jendela. Seorang perempuan bersanggul dengan kebaya berwarna salmon pucat kini tengah menatapnya. Dirinya sendiri. Ia merasa pangling dengan dirinya sendiri dalam balutan kebaya bergaya bali dengan potongan off-shoulders yang ia buat lebih tinggi berhenti tepat di bawah collarbone. Ia tidak begitu menyukai kebaya berpotongan rendah sampai ke belahan dada.

Dilemparkannya tatapannya kepada perempuan yang duduk di ujung tempat tidurnya, menunduk sibuk mengamati foto hasil jepretan yang ia ambil. Perempuan itu menggumamkan sesuatu sembari tersneyum-senyum sendiri melihat layar LCD kameranya. Nama perempuan mungil itu Jani, adik tingkat Narya di kampus sekaligus pacarnya. Yudha dan Tama sepakat untuk menyewa jasa Narya dan Jani untuk melakukan pemotretan dan membuat videografi selama prosesi adat berlangsung. Tama tersenyum kecil mengingat bagaimana beberapa minggu lalu Narya mendatangi keduanya di Denpasar dan mengenalkannya pada Jani. Perempuan bermata jernih nan polos berwajah lucu menggemaskan. Tama sedikit teringat pada Zaza tetapi jelas, Tama tahu mengapa Narya jatuh hati pada keluguan binar mata perempuan di hadapannya itu.

Jani mendongak. "Udah kak, fotonya bagus-bagus, soalnya modelnya cantik." Ujar Jani sungguh-sungguh dan diakhiri dengan kekehan polos.

"Tinggal nunggu aja nih sang mempelai laki-laki datang." Tambah Jani sambil mengulum senyum seolah mengetahui sesuatu yang tak Tama ketahui. Tama mengulum senyum sambil menjilat bibirnya yang kering.

Pintu kamar terbuka sedikit dan seseorang masuk, diikuti beberapa orang lainnya. Jani bangkit dari duduknya dan Tama menoleh ke arah orang-orang yang masuk. Janu, Anggit, Pram, Lintang, Jay serta Kikan yang menggendong Abisatyasa menatapnya dengan senyuman jahil yang terkembang di bibir masing-masing. Jani pamit keluar kamar untuk memberikan ruang bagi mereka. Tama mengulum senyum sembari menahan perasaan haru yang tiba-tiba menyergapnya.

"Asemik, kowe wedok banget, Tam. -Wow, kau terlihat perempuan sekali, Tama.-" ujar Pram sambil memajukan dagunya menunjuk pakaian yang dikenakan Tama serta dandanannya hari itu.

Tama tertawa mendengar komentar Pram itu. Gelembung haru yang ia rasakan tiba-tiba pecah dan ia menjadi tidak gugup lagi karena kehadiran sahabat-sahabatnya itu. Cengiran Janu dan Anggit terlihat kembar dan semakin lebar. Jay terkekeh sembari menggelenggkan kepalanya singkat. Sementara Lintang dan Kikan yang matanya telah berkaca-kaca itu menggigit bibirnya menahan tawa.

"Kok kalian bisa di sini?" tanya Tama sembari berjalan mendekat.

"Om Nawanda menyelundupkan kami, Tam." Jawab Janu membuat Tama tertawa kecil sembari memutar kedua matanya.

Oh, ayahnya memang tahu bagaimana caranya bersenang-senang, sekaligus membuat suasanya menjadi tak lagi tegang. Kadang Tama berpikir, ayahnya itu lebih muda daripada umurnya. Mengingat soal ayahnya tiba-tiba ada perasaan sedih karena ia sadar, setelah pernikahan, ia tak akan lagi hanya menjadi gadis kecil ayahnya. Ia mungkin tak bisa lagi bermanja-manja terhadap orang tuanya. Ia punya tanggung jawab lain terhadap suaminya.

JARAK [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang