06.8 | Srenggi, Srimala, & Srengenge

2K 171 103
                                    

06.8
Srenggi, Srimala, & Srengenge



Depok. Akhir Januari 2011.

Siapa yang tidak marah jika dibohongi? Apalagi jika orang-orang sekitar, ikut mengamini usaha tersebut. Mari kita sebut tindakan mereka itu sebagai sebuah konspirasi persekongkolan yang begitu menyakitkan. Apapun alasan dari kebohongan itu, kebohongan adalah sebuah kebohongan. Dan layaknya tindakan-tindakan yang tak dapat Tama kompromi lainnya, ia paling tidak suka dibohongi. Maka tak salah kan, kalau ia patut marah pada siapapun yang membantu persekongkolan kebohongan yang dilakukan orang-orang di sekitarnya.

Tapi Tama lebih marah kepada dirinya sendiri. Betapa ia pun sadar ia telah begitu egois selama ini, mengabaikan orang lain dan menjadikan dirinya sendiri sebagai pusat dari segalanya. Termasuk bahwa masalah rasa yang ia hadapi, ia anggap begitu lebih penting daripada hal-hal lain. Dan semua itu Tama sadari ketika melihat Yudha yang mematung di dapur Lokamandala, berusaha menyembunyikan bukti kecelakaan yang dialaminya di gunung, sementara laki-laki itu sepertinya tak berani menatap mata Tama secara langsung.

Sesaat itu, Tama melupakan masalahnya dengan Surya. Yang terbayang dalam benaknya adalah sebuah adegan kecelakaan di gunung yang mungkin melibatkan Yudha di sana. Dan fakta bahwa laki-laki itu berjanji kepadanya untuk bertemu sekembalinya ia pulang dari gunung untuk menata pikiran dan perasaannya setelah berita mengenai pernikahan kedua ibunya itu, semakin membuat dadanya terhimpit. Laki-laki yang dulu begitu asing itu masih peduli padanya yang bukan siapa-siapa, perempuan yang lebih suka merengek agak laki-laki yang ia cintai berani untuk memperjuangkan kebersamaan keduanya.

Kepala Tama langsung pening dan napasnya memburu karena dadanya yang sesak. Semua perasaan patah hati yang ia simpan manakala Surya tak datang sore di waktu janjian mereka merembes bercampur dengan amarah karena menyaksikan kepengecutan Surya pada akhirnya. Tetes-tetes mata yang terus merembes itu menyapu perasaan cemas yang dirasakan Tama ketika laki-laki yang dianggapnya sebagai kakak menghilang tidak ada kabar. Genangan air mata itu berkumpul, dalam sebuah perasaan kecewa dan patah hati melihat laki-laki yang ia pedulikan itu tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Tatapan terakhir Yudha di Lokamandala pagi itu mencabik hatinya. Baru kali itu Tama melihat kilatan-kilatan sedih yang bercampur dengan kecemasan tergambar jelas dari mata bening laki-laki yang bergeming membiarkan Tama membuat sebuah kesimpulan untuk dirinya sendiri. Ada rasa bersalah dalam tatapan itu, ada sedikit juga binar kebahagiaan yang ia sembunyikan, tapi juga ada gambaran ketegasan dan kemantapan hati yang tercetak jelas di sana. Laki-laki itu sama sekali tidak merasa ia telah melakukan kesalahan dengan tidak mengabari Tama, bersekongkol dengan orang-orang di sekitar mereka untuk memalsukan keberadaannya, lalu tak sengaja ketahuan berada di Lokamandala.

Adalah tatapan khawatir Yudha, seolah dalam keadaannya yang paling buruk itu, Yudha masih mengkhawatirkan apakah Tama baik-baik saja setelah apa yang terjadi dengan perempuan itu dan si laki-laki matahari, yang membuat Tama marah dan merasa sakit. Betapa Tama sadar dirinya bisa menjadi seseorang yang sangat menyebalkan dan munafik. Dan ia membenci dirinya yang seperti itu. Termasuk dirinya yang menjadi melankolis akhir-akhir ini karena hubungannya dengan Surya yang tak berjalan dengan baik. Termasuk juga dirinya yang menjadi cengeng karena merasa marah pada kebaikan orang lain kepadanya.

Pagi itu Tama berlari kembali ke kos-kosannya, mengabaikan empok penjaga kosan yang bertanya heran mengapa Tama kembali ke kosannya padahal seharusnya berangkat kuliah. Di lorong depan kamarnya pun, ia mengabaikan teman kosannya yang menyapa. Tama tak punya tempat lain untuk melarikan diri. Kamar miliknya itu jelas mencolok. Dan jika Yudha mau, laki-laki itu pasti akan dengan mudah menemukan Tama. Tapi kamar itulah satu-satunya rumah bagi Tama di tempat itu, yang ratusan kilometer jauhnya dari tempat ia lahir dan dibesarkan. Tidak ada rumah pohon tempatnya mengasingkan diri. Tidak ada Janu yang tiba-tiba muncul bersama tatapan tegasnya yang begitu polos menelanjangi rumit benak Tama. Tak ada Anggit yang tiba-tiba datang menghampirinya dan mendongengkan firasatnya. Tidak ada Pram yang dalam diam menyanding menemani pikirannya berkembara. Tidak ada Jay yang secara gamblang mengoyak-ngoyak kelambu fasad kebenaran yang ia tutup-tutupi.

JARAK [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang