Kemarahan

58 3 0
                                    

      “Ayi awas!!!!”

      Tubuh Ayi membungkuk, tetes demi tetesan darah membasahi celana panjangnya. Tapi tubuhnya sama sekali tidak menderita, justru yang dirasakannya adalah tekanan hangat di atas perutnya. Dia mendongak, mendapati raut kesakitan dari wajah orang yang telah menyelamatkannya. Kefan, anak itu berhasil menghalau pisau yang nyaris menghunus perut Ayi kala dia melamunkan pertemuan mengejutkannya dengan Ozy. Kedua telapak tangan temannya tertusuk, namun senyum teduh masih sempat diukirnya.

      Luka seperti itu tidak akan membunuh Kefan, tapi apa yang berada di badan benda tajam, itulah yang akan membunuhnya perlahan dalam waktu kurang dari sejam jika tidak segera mendapatkan penanganan. Bisa ular viper. Emosi Ayi memuncak, dia tersenyum sinis atas kebodohan Rio membiarkan lawannya terluka, sedangkan obat penawar berada di tangannya. Tidak ada amarah yang keluar dari tubuh Ayi, sebab dia tau dialah pemenangnya.

      Mata Ayi menajam menantang Rio. Sementara laki-laki itu diam tak bergeming. Benda yang menutupi ketajaman jarum suntik telah terlepas. Bersiap mendaratkan jarum tersebut pada tubuh Kefan dengan dosis cukup tinggi agar bisa menyelamatkan Kefan yang mulai memucat dan kehilangan keseimbangan. Tidak ada lagi obat penawar bagi Refisa yang sekarat. Tentu hal itu mengundang kemurkaan Rio. Dengan gerakannya yang sangat cepat, Rio berniat menebas kepala Ayi. Sayang mata gadis itu telah lebih dulu membaca gerakkannya. Dia menendang Rio dan menjadikan anak itu berada di bawah kekuasaannya. Ayi meloncat turun mendaratkan satu kakinya pada tubuh Rio, menyebabkan semburat darah keluar dari mulut laki-laki pengkhianat itu.

      “Lo pikir bisa bermain curang?” Ayi berdeham dan tersenyum mengejek. “Semua gerakkan lo, udah bisa gua baca.” Sikut kiri Ayi mendorong angin ke belakang. Menghajar seorang wanita yang berniat menusuknya dalam keadaan lengah. Mata yang terfokus pada satu hal belum tentu membuat pemilik raga itu lengah. Suara batuk yang menyakitkan terdengar dari balik bahunya. Wajah Ayi menoleh melirik Refisa yang membungkuk menahan sakit di dada akibat serangannya.

      Kali ini, kesabaran Ayi habis. Melihat darah yang mengalir di pelipis Ray dan tangannya yang terus memegangi perut, Ozy yang tersengal-sengal akibat perut bagian kanannya tergores cukup dalam, Gabriel yang terluka pada bagian kepala, Manuel dan Darren yang terkepung senjata mematikan, Alvin yang masih belum bisa mengendalikan dirinya dari rasa sakit, Kefan yang terlihat memprihatinkan dan Cakka juga Obiet yang sedang berusaha mengobati teman-temannya, terutama Kefan. Semua keadaan itu cukup membangkitkan naga merah di dalam raga Ayi.

      “Dari awal gua emang udah yakin pelakunya pasti salah satu di antara kita, karena cuma orang dalam yang bisa mengaduk-adukkan setiap fakta yang udah di dapat.” Ayi masih berada di posisinya. Tangan kanannya bersiap mengeluarkan senjata tajam yang sejak tadi bersembunyi belum menampakkan kemampuan bertarungnya. Matanya masih mengawasi Rio intens tanpa mengedipkan mata.

      Rio tidak menyerah begitu saja, badannya setengah terangkat, membenturkan kepalanya pada kepala Ayi. Gadis itu limbung memegangi kepalanya yang berdenyut sakit. Dia segera bangkit dan menerjang Rio kembali, membenturkan tubuh pemuda itu ke arah papan tulis di belakangnya, suara hentakan yang keras mengganggu sistem pernapasan Rio.

      “I told you not to play with foul!!!” Geram Ayi. Satu tusukan mengenai bahu Rio. Suara kesakitan menggema di kelas mengalihkan perhatian siapa pun yang sedang bertarung. Terdapat jeda di antara para petarung di kelas. Mereka menoleh ke arah yang sama.

      Ray dan Ozy menampilkan ekspresi yang sama, terenyuh sakit melihat raut wajah Ayi, dan Aiden yang diam tak bergeming mempertahankan tangannya berada di leher lawan merasa iba dengan keadaan kekasihnya. Dia memang belum ikut bertarung sepenuhnya, namun penjelasan pilu yang di dapatnya menghantarkan ide cemerlang pada otak gadis itu. Itulah yang membuat Aiden prihatin. Kecamuk amarah dan emosi sedang terjadi di dalam diri kekasihnya, peperangan batin jauh lebih menyusahkan daripada peperangan di dunia nyata.

      “Baku tembak di sekolah waktu itu palsu. Mereka pake peluru karet dan darah yang keluar dari perut gua itu juga rekayasa, tapi sayang, ketua kelas kita beneran tewas tertembak. Ada penyusup masuk dan selosong peluru itu bukan yang bunuh gua, tapi bunuh ketua kelas kita. Skenario itu terjadi karena secara tidak langsung gua tau keburukkan yang terjadi di sekolah dan orang itu ngincar gua. Untung aja The L Maskman lebih dulu nemuin gua dan ngasih tau rencana itu. Awalnya gua nolak, tapi mereka bilang kalau gua nolak, kalian bakal dalam bahaya. Jadi, ya, gua ikutin permainan mereka. Ternyata gagal, terpaksa kami harus bawa masuk kalian.”

      “Orang itu? Siapa?”

      “Satu di antara kalian.”

      “Iya, siapa?”

      “Mario. Persis dugaan dan kekhawatiran lo, dek.”

      Genangan air mata terlihat jelas memenuhi pelupuk mata Ayi. Mengaburkan pandangan gadis itu. Aiden cepat-cepat melumpuhkan lawannya dan melompat tinggi menjatuhkan Ayi ke samping sebelum pistol yang ternyata bersembunyi di balik baju Rio melesak menembus kulit kekasihnya. Aiden meringis kesakitan terkena goresan pisau yang berada di genggam tangan Ayi, di lehernya. Dia tak lantas bangkit, tangan kanannya menyentuh lehernya dan mencari tau adakah darah yang mengalir. Respon cepat di berikan Ayi ketika tau darah itu lambat-laun mengalir keluar, dia ketakutan namun tidak panik. Headbuff yang selalu di bawanya dia letakkan di atas luka Aiden, menekannya dan mencari syal lebih panjang untuk bisa diikat mengelilingi leher Aiden, mengurangi laju darah. Sorot mata Ayi jelas sekali menunjukkan rasa bersalah.

      “I’m okay.” Ucap Aiden.

      “No, you don’t. Sorry... i’m sorry.” Lirih Ayi. Seraya berusaha menekan pendarahan Aiden, Ayi teringat akan sesuatu.

                         *****

Secret EnemyWhere stories live. Discover now