Bungkam

64 5 0
                                    

Kesal. Itulah perasaan Ayi. Sejak dia dan Deva pulang dari penyelidikkannya ke rumah Keisha, tak satu pun penghuni rumah berbicara dengannya. Begitu pun Ray, lebih memilih mengurung diri di kamar dan keluar saat jam makan malam, kembali lagi ke kamar, hingga paginya dia berangkat tanpa pamit pada Ayi. Sangat tidak biasa. Seakan dunianya kembali ke masa sewaktu Ozy masih berada di sisinya

Gadis itu merasa tidak bersemangat datang ke sekolah, jika pada akhirnya tidak ada keakraban antara adik dan kakak. Tidak masalah kalau harus dicueki Cakka dan yang lainnya, tapi sang kakak? Dia hanya memiliki Ray sebagai seorang saudara, lain cerita saat Ozy masih hidup.

Dia datang ke sekolah, duduk di kelas diam tanpa menyimak pelajaran. Rasanya percuma dia menghabiskan waktu berjam-jam di rumah Keisha dan membahasnya di sebuah cafè, bila akhirnya seperti ini. Ayi bahkan tidak tahu hasil yang di dapat seniornya, selain Deva yang memang satu tim.

"Bu saya permisi." Izin Ayi.

Sejak detik itu, Ayi tidak pernah kembali ke kelas, sampai jam istirahat berbunyi. Pikirannya melayang pada perubahan tingkah laku kakaknya dan kakak kelasnya. Dia menyesal telah memecahkan orang-orang yang sejak awal kurang akur, sekarang malah bertambah renggang. Dia tahu sedang terjadi konflik antara kelima laki-laki itu.

"Hai." Suara yang datang membuatnya tersenyum meski sebuah senyum kecut. "Cabut belajar lagi, ya?" Tanya laki-laki yang segera menyamakan posisinya dengan Ayi. Terduduk di sebuah sofa rusak di teras perpustakaan.

Tidak ada jawaban dari gadis itu.

"Oh iya, gua liat kak Ray sama yang lainnya kembali seperti sedia kala, ada apa?" Itu jugalah yang sedang dipikirkan Ayi.

"Berantem, mungkin." Laki-laki itu mengusap puncak kepala Ayi penuh kelembutan dan rasa sayang.

"Aiden, ah!!! Gua lagi kesel nih." Tidak ada nada ketus atau bentakkan. Aiden tidak biasa diperlakukan seperti itu sejak kecil, dan Ayi sudah terbiasa bersikap sedikit berbeda pada Aiden. Hati laki-laki itu sangat lembut.

"Nih makan dulu, gua gak mau penyakit lo kambuh."

"Gua 'kan asma, bukan maag." Protes Ayi.

"Terus, mentang-mentang lo asma, lo bisa bebas gitu aja makan telat? Gak enak lho punya asma sama maag sekaligus. Udah nih makan, gua suapin." Bungkusan sandwich dibuka Aiden dan menyuapi kekasihnya. Ayi luluh dan memang dia sedang lapar. Sejak malam dia belum makan, nafsunya menurun merasakan suasana dingin di rumahnya.

"Temenin gua disini ya, please." Gadis itu memohon setelah menelan susu kotak pemberian Aiden.

"Cabut?" Dia mengangguk. "Kalo sama pacar, gak masalah deh."

Keheningan terjadi cukup lama setelah keduanya menghabiskan makanan mereka. Ayi memikirkan masalah pribadinya, sedangkan Aiden sibuk memikirkan cara menghibur gadis disampingnya yang menyenderkan kepala di atas bahunya.

Terlintas pikiran nakal di kepala Aiden melihat jejeran atap dan ingatannya pada sebuah komik yang dibacanya tadi malam. Pikiran yang akan membuat gadisnya tersenyum dan bukan perkara sulit untuk dilakukan.

"Ke tempat kakak ipar yuk!!!?" Mata Ayi membulat sempurna. Sudah lama dia tidak berkunjung ke rumah saudaranya. Tapi... "Guru piket sekarang 'kan killer, gua gak biasa cabut hari sabtu."

"Kita asah kemampuan?" Gadis itu tidak paham maksud kekasihnya. Kemudian, dia mengikuti kemana arah mata Aiden bergerak. Melihat seringaian jahil itu, Ayi paham.

"Lebah bisa aja, siapa takut."

"Kok lebah?"

"'kan gua suka bunga. Tanpa lebah, bunga jadi kurang bagus." Alasan yang berhasil menarik sudut bibir Aiden.

Mereka langsung melakukan apa yang mereka suka.

Memanjat atap demi atap agar bisa mencapai jalan raya.

*****

"Makasih ya udah nganterin gua." Ucap Ayi saat diantar pulang Aiden jam delapan malam. Mereka masih memakai seragam sekolah, dengan baju yang kotor oleh tanah. Mereka menghabiskan hari di tanah kuburan. Sempat ke rumah Aiden untuk mengambil kendaraan milik laki-laki itu, untuk mempermudahnya mengantar Ayi pulang. Mereka tidak lagi ingat sekolah saat menginjakkan kaki di kompleks pekuburan itu. Banyak kalimat curhatan diucapkan Ayi dan banyak kekaguman di lontarkan Aiden pada tubuh yang berada di dalam tanah. Mereka tidak peduli di anggap seperti orang gila.

Disana, Ayi lebih banyak menangis dan memeluk batu nisan Ozy. Dan di tempat itu juga, Ayi baru menyadari bahwa selama ini ternyata Aiden sangat mengagumi sosok kakaknya sampai membuatnya meniru beberapa pola tingkah laku Ozy. Pantas saja Ayi merasa berada di dekat Ozy saat bersama Aiden.

"Hati-hati ya jalan, jangan lupa mandi." Tutur Ayi diimbangin senyuman. Dia masuk menutup pagar ketika Aiden telah menghilang di telan tikungan dan kegelapan malam.

Hembusan nafas cukup keras dikeluarkannya dan membasuh wajahnya menggunakan air keran taman sebelum membuka pintu untuk masuk. Dia ingin segera ke kamarnya, tidur seraya berharap esok kembali normal.

"Dari mana aja, baru pulang jam segini?" Sambut Ray ketus.

"Bukan urusan lo." Adiknya tidak kalah ketus. Ayi melihat sekilas penghuni rumahnya lengkap berada di ruang tamu. Bukan sekumpulan keluarga, sekumpulan manusia yang terjebak dalam labirin abstrak. Tapi percuma saja, mereka saling diam dan sibuk menyelesaikan masalah masing-masing.

"Percuma kalian ngumpul kalo gak ada yang diskusi, rumah rasa kuburan, serem." Sindir Ayi mendapat perhatian dari seluruh penghuni ruangan, kecuali Deva yang tertunduk memahami perasaan gadis itu. "Kalo udah capek main kelompok, mendingan urus masalah ini sendiri-sendiri aja. Toh yang mati juga orang lain, bukan kalian." Mata Ray terbelalak. Ayi tidak pernah menggunakan kata 'mati' pada tubuh manusia tak bernyawa.

"Dan kalo udah pada nyerah, dari pada ngelampiasin ke orang lain, lebih baik mundur, gak usah nyari-nyari kesalahan orang lain. Lepas tangan juga, apa sih hukumannya, paling di teror tiap hari. Pada takut sama teroran mereka? Percuma dapet predikat bengal di sekolah kalo di teror aja takut!!!" Suara Ayi semakin meningkat menyesuaikan irama emosinya.

Mata Ayi menatap tajam sosok laki-laki di meja tengah. "Kak Deva, mending kita selesaiin ini berdua aja, di kamar gua. Toh, kalo kita mati juga yang lain pada seneng, 'kan udah bebas dari masalah." Ray semakin tidak percaya atas apa yang diucapkan adiknya. Dia tidak—atau mungkin jarang—melihat emosi adiknya menguap sederas itu.

Deva bangkit membawa beberapa buku. "Ayi bener. Tingkah kalian kaya anak kecil. Kalo ada masalah di selesaiin, bukan diam satu sama lain dan kita berdua gak tau masalah kalian apa. Sampai nanti kami tewas pun gua yakin kalian bakal nyalahin satu sama lain karena gak bisa bantuin kami. Habisin ego kalian dulu, baru gabung sama kami lagi."

"Ini semua gara-gara Rio sama Cakka." Gabriel angkat suara saat Deva dan Ayi baru akan meninggalkan ruangan. "Atau mungkin Rio." Posisi Gabriel menghadap ke Rio, membuatnya dengan mudah menangkap raut wajah objek pembicaraannya. "Lo harus kesampingin pikiran lo, Yo. Gua bukan belain mereka, tapi timing lo marah itu gak tepat. Disini kita dirangkul masalah yang sama, artinya masalah ini harus diselesaiin bareng-bareng. Ini bukan salah Cakka yang jadi korban penculikkan mereka. Tapi, emang kita udah dijadiin target sama mereka." Sepanjang pembicaraan, kepala Gabriel senantiasa menunduk.

Ini aneh, pikir Ayi. Bukankah diantara mereka bertiga, Gabriel ketuanya. Kenapa sepertinya dia takut pada Rio? Apa emosinya sewaktu menuduh Cakka seperti yang dikatakan Gabriel tadi sangat menyeramkan hingga membuat Gabriel tidak berani menatap Rio? Gadis itu tidak ingin ambil pusing.

"Selesaiin urusan kalian, baru nyusul kami ke teras kamar Ayi." Tukas Deva seakan dia tidak ingin mendengarkan perdebatan temannya dan menarik tangan Ayi yang terlihat sudah menitikkan airmata sejak emosinya membuncah.

*****

Secret EnemyWo Geschichten leben. Entdecke jetzt